Skip to content
Go back
Content Protected

PROLOG - Awal yang tak tertulis

 •  10 menit waktu membaca

PROLOG - Awal yang tak tertulis

Salatiga, siang hari, beberapa jam sebelum dunia berubah.

Angin sore berembus pelan menyusuri jalanan Salatiga yang biasanya damai. Daun-daun pohon hanya bergoyang sedikit, tapi udara terasa lebih berat dari biasanya. Di langit, awan-awan kelabu menggantung rendah seperti akan turun hujan kapan saja, namun entah kenapa belum juga tumpah. Suasana kota seperti biasa: hangat, padat, namun tak tergesa. Di depan sebuah minimarket di ujung gang kecil, Mbarep Kusuma baru saja keluar dengan kantong kresek berisi kopi sachet dua arah dan sekotak camilan favoritnya. Rambutnya sedikit acak karena angin, kemeja hitamnya digulung di lengan, dan langkahnya santai—terlalu santai untuk seseorang yang tidak menyadari dunia akan berubah dalam beberapa jam mendatang.

“Kayaknya bakal hujan gede,” gumamnya sambil melirik langit yang sudah mulai kelabu. Ia menurunkan kacamatanya sedikit dan mendongak. Awan-awan itu… bukan hanya mendung. Mereka berputar perlahan. Tidak seperti angin topan, tapi juga bukan awan hujan biasa.

Mbarep mempercepat langkahnya, menyusuri trotoar sempit yang diapit oleh rumah-rumah tua dan pohon trembesi yang mulai merontokkan daun. Di kejauhan, suara klakson bersahutan seperti biasa. Namun ada yang aneh. Terlalu banyak burung—burung kecil, burung gereja, walet, bahkan burung elang—terbang rendah dan bergerombol, seperti panik mencari arah.

Seekor kucing jalanan tiba-tiba melompat dari sela pagar rumah, berdiri di tengah jalan kecil dan mengeong keras ke arah Mbarep. Ia berhenti. Kucing itu melengkungkan tubuhnya, bulunya berdiri, dan mengeluarkan suara geraman aneh. Bukan suara marah biasa, tapi seolah… memperingatkan.

“Eh, kenapa kamu gitu?” tanya Mbarep pelan. Tapi dalam hati, ia mulai merasa ada yang tidak beres.

Ia melanjutkan langkahnya. Lalu, sesuatu yang lebih aneh terjadi.

Langit, yang semula hanya kelabu, kini mulai berwarna tembaga. Awan membentuk pusaran raksasa. Cahaya matahari seolah disaring oleh filter merah kusam. Udara berubah. Tidak dingin. Tapi juga tidak panas, terasa pengap membuat dada menjadi gelisah.

Mbarep menuruni jalan menuju gang rumah kosnya. Ia mempercepat langkah, hingga akhirnya Ia sampai di depan rumah kos. Tangan kirinya masih membawa kantong belanja. Ia berdiri sejenak, menatap langit. Hatinya tidak tenang.

“Kalau ini novel, pasti ini bab pembuka sebelum bencana,” gumamnya, berusaha menenangkan diri.

Di sebuah bangunan tua berarsitektur kolonial yang kini menjadi kos-kosan mahasiswa dan perantau itu. Seorang pemuda mencoba mengalihkan pikirannya dari hal yang ia temui di luar, kembali duduk menghadap laptop karena ia ingat masih ada tenggat waktu untuk novel yang sedang ia tulis. Namanya Mbarep Kusuma, 26 tahun, lulusan Arkeologi dan Sastra Indonesia. Rambut ikalnya dibiarkan tumbuh acak, kacamata bulat bertengger di hidung, dan tubuhnya mengenakan pakaian rapi, kemeja hitam dan blazer gelap yang sederhana. 

Kamar kosnya berukuran 3x4 meter, berjendela menghadap jalan yang berdebu dan tak pernah sepi suara motor. Meski sempit, ruang itu seperti museum pribadi—dipenuhi tumpukan buku tua yang sudah menguning, naskah-naskah draf novel yang tak kunjung rampung, dan catatan-catatan ide yang ditulis dengan berbagai warna tinta. Di rak dan lantai berserakan buku-buku mitologi Nusantara, kumpulan dongeng dari desa-desa terpencil, serta jurnal-jurnal arkeologi yang dilapisi debu tipis.

Mbarep hidup sebatang kara. Ayahnya, seorang budayawan terkemuka di tanah Jawa, telah wafat beberapa tahun lalu, meninggalkan warisan nilai dan pemahaman mendalam tentang kebudayaan Nusantara. Ibunya, seorang arkeolog terkenal, juga telah berpulang setelah bertahun-tahun meneliti situs-situs bersejarah di pedalaman Indonesia. Dari mereka berdua, Mbarep mewarisi kecintaan pada sejarah dan kisah-kisah yang terkubur oleh zaman.

Setelah lulus dari program studi Arkeologi dan Sastra Indonesia, Mbarep sempat bekerja di Semarang bersama temannya sebagai Customer Service untuk sebuah perusahaan E-Commerce dan Media sosial Semarang. Dunia kerja tak memberinya ruang untuk berkarya sesuai jiwanya. Ia hanya bertahan setahun sebelum akhirnya memutuskan menjadi freelancer. Kini, waktunya ia curahkan sepenuhnya untuk menulis.

Meski mimpinya belum besar di mata orang lain, semangatnya belum padam. Ia masih menulis, masih mencoba. Novel eksperimental yang sedang ia kerjakan—Nusantara: Petualangan Menara Takdir—adalah hasil dari obsesinya terhadap sejarah lokal, mitologi Hindu-Buddha, pewayangan, dan kisah-kisah pahlawan nasional. Ia menyatukan semuanya dalam satu dunia fiksi yang kompleks, tempat di mana menara-menara raksasa muncul dan para manusia biasa harus bertarung di dalamnya demi keberlangsungan umat manusia. Ia berencana merilis novelnya bulan depan. Mengenalkan budaya Indonesia ke Manca Negara dengan pembawaan baru, yaitu bacaan novel. Untuk itu, ia memberi batas waktu pada dirinya sendiri agar tetap disiplin, dan memilih menerbitkan novelnya secara mandiri, tanpa melalui penerbit besar dengan Internet.

Di luar, langit sudah mulai menggelap oleh awan tebal yang tak biasa, kilat saling menyambar tanpa irama, dan udara dipenuhi tekanan yang sulit dijelaskan. Namun Mbarep tetap duduk tenang di depan laptopnya, seolah dunia luar tak sanggup mengusik dunianya sendiri.

Jari-jarinya menari di atas keyboard dengan tempo yang pelan namun konsisten, seolah menyalurkan denyut pikirannya langsung ke layar. Di tengah sibuknya dunia luar, kamar itu tetap menjadi ruang kecil tempat ide-idenya hidup.

Di layar laptopnya yang mulai kusam, baris demi baris kalimat mengalir. Sesekali ia berhenti mengetik, lalu menatap layar sambil mengerutkan kening.

“Kalau menara-nya muncul di Kalimantan, harusnya aku sambungkan sama mitos Dayak… tapi jangan terlalu mirip legenda aslinya,” gumamnya pelan.

Ia mengetik beberapa kata lagi, lalu kembali terdiam. Tangannya menopang dagu.

“Apa aku terlalu serius? Harusnya ku tambahkan elemen yang lebih familiar. Biar pembaca nggak bingung. Tapi… apa itu justru melemahkan makna ceritanya?”

Jarinya kembali menari, menambahkan satu paragraf penuh dengan penuh pertimbangan. Tapi kemudian ia berhenti lagi. Tatapannya kosong menembus layar, seolah mencoba menebak masa depan ceritanya sendiri.

Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan. Tapi kata-kata berikutnya terasa berat. Ia menuliskan:

“…dan pada akhirnya, tim terakhir umat manusia gagal menyelesaikan tantangan terakhir Menara Utama …”

Titik. Ia berhenti.

Seketika, ada rasa mual yang menyesakkan yang ia rasakan, tubuhnya kaku. Dari luar jendela kayu tua di sampingnya, ia bisa melihat awan mulai berputar. Tidak seperti awan hujan. Ini lebih mirip pusaran energi.

Kejadian aneh ini tidak hanya terjadi di Salatiga. Di seluruh dunia, orang-orang merasakan keanehan yang sama. Di Manhattan, pejalan kaki berhenti di tengah trotoar, menengadah menatap pusaran kelabu yang berputar di atas gedung pencakar langit. Di Tokyo, para pegawai kantor yang sedang berangkat kerja, keluar dari gerbong kereta yang baru berhenti, jari-jari mereka menunjuk langit yang perlahan berubah warna—dari biru menjadi warna tembaga kusam.

Kemudian, dentuman mengguncang bumi.

GRAAAAMMMM!

Suara itu bergema dari langit, menggelegar tidak hanya di Salatiga, tapi di setiap sudut planet. Seolah-olah atmosfer bumi retak seperti kaca yang dipukul palu raksasa. Langit benar-benar sobek—garis-garis hitam zigzag membelah awan dari Beijing hingga London, dari Mumbai hingga São Paulo.

Di kamar kosnya, Mbarep merasakan guncangan itu secara langsung. Rak bukunya bergoyang keras sebelum akhirnya ambruk, menyebarkan buku-buku mitologi ke seluruh lantai. Gelas kopi di mejanya melompat dan pecah, cairan cokelat menggenang di antara serpihan kaca. Laptop kusam di hadapannya berkedip seperti hendak mati—layar menampilkan noise sesaat sebelum tulisan yang baru ia ketik lenyap tanpa jejak.

Lalu, sesuatu yang mustahil terjadi.

Sebuah antarmuka transparan muncul melayang di udara tepat di hadapannya—panel holografik dengan font sistemik bercahaya biru, persis seperti interface game yang sering ia mainkan. Tapi ini bukan game. Ini nyata, melayang di udara tanpa proyektor atau teknologi apa pun.

"Selamat datang, para Penantang. Skenario Awal akan segera dimulai."

Dari langit, celah-celah hitam membelah seperti retakan di permukaan cermin. Dari retakan itu, turun menara-menara raksasa, menjulang dari langit ke bumi seperti tombak dewa. Tidak hanya satu. Tidak hanya sepuluh. Tapi menara tersebut telah bermunculan juga di Seluruh Dunia.

Orang - orang masih belum sadar, bahwa dari Manhattan hingga Moskow, dari hutan Amazon sampai padang pasir Sahara. Dari Tokyo sampai Jakarta. Semua kota - kota besar di Indonesiapun tak luput: Medan, Padang, Palembang, Bandung, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Makassar, Ambon, Jayapura—berbagai wilayah muncul menara yang sangat misterius, masing-masing dengan desain yang mencerminkan akar budaya daerah wilayahnya.

Di China, muncul menara raksasa berhias ukiran naga dan berbagai simbol hewan shio, seolah berasal langsung dari mitologi kuno mereka. Di wilayah Denmark, Skandinavia, dan sekitarnya, berdiri menara berhiaskan simbol-simbol nordik dan ornamen bergaya Viking—dari kepala kapak hingga rune-rune kuno. Di Inggris, menara yang muncul menyerupai kastel abad pertengahan, lengkap dengan relief pedang, perisai, dan lambang-lambang kerajaan era Raja Arthur.

Sementara itu, di Jepang, beberapa menara diberbagai kepulauan mereka menjulang dengan ukiran rumit—menampilkan sosok dewa-dewa Shinto, yokai, dan elemen budaya klasik mereka. Di Timur Tengah dan Mesir, piramida kuno tampak menyatu dengan struktur menara baru; relief Anubis, Horus, dan dewa-dewa Mesir kuno muncul kembali dalam kejayaan. Bahkan di tengah lautan, sebuah pulau baru terbentuk di dekat Segitiga Bermuda, menampilkan menara menjulang dengan arsitektur khas Atlantis—misterius, penuh cahaya biru kehijauan, seperti kota yang kembali dari mitos. 

Kilat-kilat ungu menyambar langit tanpa henti. Seolah-olah dunia tengah mengalami kelahiran kembali yang brutal—kehancuran dan penciptaan terjadi bersamaan, seperti instalasi sistem operasi baru yang menghapus seluruh data lama.

Di orbit, satelit-satelit komunikasi meledak satu per satu, menciptakan hujan puing kosmik yang menghancurkan sebagian besar peradaban umat manusia. Di Amerika, sebuah menara raksasa jatuh tepat dari langit ke jantung Pentagon—monolit gelap jatuh, seakan keluar mengoyak langit itu sendiri. Namun tak lama setelah kemunculannya, dentuman cahaya yang luar biasa terang meledak dari titik pusatnya. Dalam sekejap, seluruh area tersebut lenyap, seolah tersedot oleh lubang hitam buatan yang melahap ruang dan waktu. Amerika Serikat, secara harfiah, menghilang dari peta dunia. Diikuti dentuman kuat tersebut, kota-kota besar diberbagai Negara kehilangan komando. Dalam hitungan menit, seluruh infrastruktur pemerintahan dunia tidak berkutik. Militer tak sempat mengangkat senjata. Sistem telah runtuh total.

Dan dalam kekosongan itu, di seluruh dunia, muncullah mereka.

Juru Ghaib.

Sosok-sosok kecil turun perlahan dari awan yang masih berputar. Penampilan mereka seperti anak-anak berseragam kantor—kemeja putih yang disetrika rapi, celana cokelat formal, sepatu pantofel hitam mengkilap. Tapi ada yang tidak wajar dari mereka.

Ekspresi wajah mereka kosong dan datar. Senyum yang terlalu lebar tidak pernah hilang dari bibir mereka. Yang paling mengganggu adalah tanduk kecil yang tumbuh di kepala dan sayap mainan yang menempel di punggung mereka.

Name tag berkilau di dada mereka: “Divisi Pengelola Skema Realita – Juru Ghaib.”

Penampilan mereka yang seperti anak-anak adalah ilusi yang menyesatkan. Cara bicara mereka datar seperti robot, senyum mereka dingin dan sinis, pandangan mereka menusuk seperti predator yang sedang mengukur mangsa. Mereka menyebar ke seluruh dunia dengan kecepatan yang tidak wajar, membawa teror dan mengambil alih kekacauan dengan efisiensi yang mengerikan—seolah telah merencanakan invasi ini selama berabad-abad.

Kemudian, salah satu dari mereka muncul di depan pintu kamar Mbarep.

“Selamat sore, Penulis Terpilih nomor 847,” kata sosok itu dengan suara datar. “Sistem telah menganalisis 2.847 naskah dari seluruh dunia. Naskah Anda masuk dalam kategori ‘Berpotensi Tinggi.’ Proses integrasi akan dimulai.”

“Tunggu. Apa maksudmu? Integrasi apa? Aku nggak ngerti!”

Seketika, cahaya biru membungkus tubuh Mbarep. Sebelum kalimatnya selesai, tiba-tiba seluruh dunia mengabur. Kesadaran terlepas dari tubuhnya, pandangannya buram, suaranya hilang, tubuhnya melayang tanpa arah. Yang terakhir ia lihat hanyalah sosok anak kecil berseragam rapi berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata yang tak berkedip. Dan yang terakhir ia dengar—tawa samar, bergaung pelan dari celah ruang yang tidak bisa dijelaskan oleh logika atau bahasa. Lalu semuanya menjadi gelap dalam pandangan Mbarep.

“Ah, tida —” Mbarep telah kehilangan kesadarannya.

“Anda akan menjadi protagonist utama untuk wilayah Indonesia. Selamat.” Ucap Juru Ghaib tersebut.

Di seluruh dunia, 847 penulis mengalami hal yang sama—cerita mereka lolos kualifikasi. Cerita ini akhirnya digabungkan menjadi satu, dalam berbagai skenario yang ada, jadilah sistem menara.

Dunia lama mati. Dunia baru lahir.

Dan Mbarep Kusuma, penulis biasa dari Salatiga, terpaksa menjadi tokoh utama dalam cerita yang belum ia selesaikan.

Tubuh Mbarep jatuh dengan pelan ke lantai kayu kamarnya. Hanya tubuh yang terhempas perlahan, seperti orang tidur yang terlalu lelah untuk bangun kembali.

Wajahnya pucat, nafasnya pelan, hampir tak terdengar, dalam ketidaksadarannya, telinganya berdengung dengan keras. Di luar kamarnya, dunia masih terguncang, dan suara aneh dari luar yang terus berdentam seperti gong ditabuh dari langit.

/[PROLOG SELESAI]


Komentar


📱

Install Aksara Karsa

Akses lebih cepat dan nikmati pengalaman membaca yang lebih baik