***Chapter 17: Kunjungan yang tidak diinginkan ***
Sore mulai merambat di Shelter 11 Jatidiri. Cahaya matahari yang menembus celah-celah awan memberikan warna jingga keemasan pada Menara Candhi Waringin yang menjulang di kejauhan. Suara riuh dari pasar darurat masih terdengar, meski intensitasnya mulai mereda seiring dengan penantang-penantang yang mulai kembali ke area istirahat mereka masing-masing.
Setelah reuni yang hangat di belakang Toko Barokah, perut Mbarep mulai berbunyi keras. Ia menyadari bahwa sejak keluar dari Tuk Tirta Pengilon tadi, ia belum menyentuh makanan apa pun. Tubuh barunya yang ‘Wadah Naga’ mungkin lebih kuat, tapi tetap membutuhkan asupan energi.
“Kalian lapar nggak?” tanya Mbarep sambil mengelus perutnya yang protes. “Aku kelaparan banget. Rasanya udah berhari-hari nggak makan yang bener.”
Bima langsung mengangguk antusias. “Wah, iya banget! Dari tadi pagi kita cuma makan biskuit sama air putih doang. Mana porsinya dikit lagi.”
“Aku juga lapar sih,” tambah Raditya sambil mengelus Sandhi yang masih setia di pangkuannya. “Tapi… kita masih ada uang nggak ya? Maksudku, Koin Realitas kita?”
Kirana membuka catatan kecilnya, menghitung saldo mereka. “Kita masih punya sekitar 800 Koin Realitas total. Lumayan buat makan dan beli perlengkapan dasar.”
Lydia berdiri sambil meregangkan tubuhnya. “Kalau gitu yuk ke warung yang tadi. Pak Harto orangnya baik, dan makanannya juga enak. Lagian tempatnya nyaman buat ngobrol.”
Arya mengangguk setuju. “Iya, kita butuh tempat yang agak privat juga. Banyak mata yang ngawasin kita dari tadi.”
Mereka bangkit dari kursi plastik di belakang Toko Barokah dan berjalan menuju Warung Madura di pojok selatan shelter. Jarak yang tidak jauh itu mereka tempuh dengan langkah santai, menikmati sore yang relatif tenang sebelum badai yang akan datang.
Warung Madura terlihat lebih ramai dari sebelumnya. Beberapa penantang dari berbagai kelompok duduk di meja-meja kayu yang disediakan, menyantap makanan sambil berbincang dengan suara rendah. Aroma gudeg, soto, dan kopi tubruk mengepul dari dapur kecil yang berada di belakang warung.
Pak Harto, pemilik warung, menyambut mereka dengan senyum hangat yang tulus. Pria paruh baya berpeci hitam itu langsung mengenali mereka.
Tim Mbarep mengambil tempat di meja panjang di sudut warung, sedikit terpisah dari pengunjung lain. Posisi itu strategis—mereka bisa melihat seluruh area warung tapi juga memiliki privasi untuk berbicara.
Sandhi yang dibawa Raditya langsung menjadi pusat perhatian. Beberapa pengunjung lain melirik dengan rasa ingin tahu, namun tidak ada yang berani mendekat. Warak kecil itu meringkuk tenang di bawah kursi Raditya, sesekali mengendus-endus aroma makanan dengan hidung mungilnya.
“Pak, kami pesan gudeg sama soto untuk berenam,” kata Lydia. “Sama kopi tubruknya juga ya, Pak.”
“Siap, Mbak. Sebentar ya.” Pak Harto bergegas ke dapur.
Saat menunggu makanan datang, suasana di antara mereka terasa lebih rileks. Mbarep memperhatikan wajah-wajah teman-temannya satu per satu. Kelelahan terlihat jelas di mata mereka, tapi juga ada kilau tekad yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Mereka telah berkembang, menjadi lebih kuat dan lebih dewasa.
“Mas Mbarep,” Raditya berbisik sambil memastikan tidak ada yang mendengar. “Tadi kamu bilang level-mu naik jadi 7 kan? Itu… gimana rasanya? Maksudku, beda banget nggak sama sebelumnya?”
Mbarep menimbang-nimbang jawabannya. “Beda banget,” akuinya jujur. “Tubuh terasa lebih ringan, lebih kuat. Panca indra jadi lebih tajam. Tapi yang paling berbeda itu… di sini.” Ia menunjuk dadanya. “Seperti ada keyakinan yang lebih besar. Lebih… tenang, mungkin.”
Ia tidak berbohong sepenuhnya. Warisan Baru Klinting memang memberikannya perasaan seperti itu, meski ada harga yang harus ia bayar.
“Aku iri,” canda Bima. “Kapan ya gue bisa power up segitu? Mungkin harus ke tempat keramat juga nih.”
“Jangan sembarangan,” Kirana memperingatkan. “Yang dialami Mbarep itu pasti berbahaya. Dia bisa saja tidak kembali.”
Arya mengangguk setuju. “Lagian, setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri. Yang penting kita saling mendukung.”
Makanan mulai berdatangan. Pak Harto menyajikan gudeg yang harum dengan irisan telur dan ayam kampung, ditambah soto bening yang mengepul panas. Kopi tubruk yang pekat disajikan dalam gelas-gelas kecil yang hangat.
“Selamat menikmati,” kata Pak Harto. “Kalau kurang, bilang saja ya.”
Mereka mulai makan dengan lahap. Sudah lama sekali mereka tidak menikmati makanan hangat yang sesungguhnya. Sepanjang perjalanan dari Salatiga, mereka hanya mengandalkan ransum kering dan air putih.
Sandhi yang semula diam di bawah kursi mulai gelisah. Hidungnya bergerak-gerak, matanya yang besar memandang ke arah makanan dengan penuh harap.
“Dia lapar juga kayaknya,” kata Raditya.
Lydia mengambil sepotong kecil nasi gudeg dan meletakkannya di piring kecil di lantai. “Coba dimakan, Sandhi.”
Warak kecil itu mendekat dengan hati-hati, mencium makanan itu sebentar, lalu mulai melahapnya dengan antusias. Tunas batu bara di punggungnya mengeluarkan asap tipis yang sedikit lebih tebal, pertanda dia senang.
“Lucu banget,” Bima tertawa pelan. “Kayak kucing yang lagi makan.”
Saat mereka makan, percakapan mengalir natural. Mereka membahas rencana untuk malam ini dan besok pagi. Kirana mencatat hal-hal penting yang perlu mereka siapkan, sementara Arya dan Bima mendiskusikan formasi tim untuk skenario yang akan datang.
Di tengah obrolan hangat itu, Sandhi tiba-tiba berhenti makan. Telinganya yang runcing berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah pintu masuk warung. Bulu-bulu halus di lehernya mulai berdiri.
“Ada apa, Sandhi?” bisik Raditya.
Mbarep merasakan perubahan itu juga. Melalui mata naga kanannya yang tersembunyi, ia bisa melihat aura-aura berwarna gelap yang mulai berkumpul di luar warung. Aura yang familiar, agresif, dan dipenuhi niat buruk.
“Kita sedang diawasi,” kata Mbarep pelan, tanpa mengangkat kepala dari piring makannya. “Sejak tadi sebenarnya, tapi sekarang mereka mulai bergerak lebih dekat.”
Tim menegang, tapi mereka cukup berpengalaman untuk tidak menunjukkan kecurigaan secara terbuka. Mereka terus makan sambil tetap waspada.
Tiga orang berseragam hitam-emas masuk ke warung. Mbarep langsung mengenali mereka—anak buah Ates. Yang di depan adalah pria tinggi dengan wajah garang, sedangkan dua di belakangnya adalah pria bertubuh kekar yang jelas-jelas pengawal.
Mereka tidak langsung mendekati meja Mbarep. Sebaliknya, mereka memesan minuman di counter dan duduk di meja yang cukup dekat untuk mengawasi, tapi tidak terlalu mencolok.
“Teman-teman baru kita,” bisik Kirana sambil menyeruput kopinya.
Mbarep mengaktifkan kemampuan Mata Penulisnya untuk menganalisis ketiga orang itu.
> Nama: Widodo Prasetyo
> Umur: 32 tahun
> Level: 5
> Kelas: Petarung
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Intimidasi Natural
> Deskripsi: Mantan preman pasar yang bergabung dengan kelompok Ates karena tertarik pada kekuasaan dan keuntungan. Setia pada siapa pun yang bisa memberikan kehidupan yang lebih baik.
> Catatan Penulis: Tipe orang yang akan melakukan apa saja demi uang. Berbahaya tapi bisa diprediksi.
> Nama: Sukardi
> Umur: 28 tahun
> Level: 4
> Kelas: Petarung
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Tubuh Baja
> Deskripsi: Mantan bodyguard yang kehilangan majikannya saat menara muncul. Bergabung dengan Ates untuk mencari perlindungan dan tujuan hidup yang baru.
> Catatan Penulis: Otot tanpa otak, tapi jangan diremehkan kekuatannya.
> Nama: Bambang Sutrisno
> Umur: 35 tahun
> Level: 4
> Kelas: Petarung
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Regenerasi Cepat
> Deskripsi: Mantan petinju jalanan yang sudah terbiasa dengan kekerasan. Menjadi anak buah Ates karena menganggap dunia sekarang seperti arena tinju yang lebih besar.
> Catatan Penulis: Punya mentalitas bertarung yang kuat, tapi mudah terprovokasi.
Lydia meletakkan gelasnya dengan perlahan. “Apa yang mereka mau?”
“Kemungkinan besar mengawasi dan menunggu momen yang tepat,” jawab Mbarep. “Atau mencari tahu kelemahan kita.”
Suasana di warung menjadi tegang meski secara kasat mata terlihat normal. Pengunjung lain tampaknya tidak menyadari drama yang sedang berlangsung.
Pak Harto yang sensitif dengan suasana mendekati meja mereka. “Ada yang kurang, Mas?” tanyanya dengan nada khawatir.
“Tidak, Pak. Makanannya enak sekali,” jawab Lydia dengan senyum yang dipaksakan. “Oh iya, Pak, tadi sore kan ada pengumuman dari sistem tentang skenario besok. Bapak dengar nggak?”
Pak Harto mengangguk. “Iya, Mbak. Katanya skenario akan dimulai jam 5 pagi. Semua penantang harus berkumpul di kaki menara sebelum jam 4.30. Yang terlambat akan… ya, Mbak tahu sendiri.”
Mbarep melirik jam di status window-nya. Pukul 16.47. Berarti mereka punya waktu kurang dari 13 jam lagi.
“Pak Harto,” kata Mbarep pelan, “kalau boleh tahu, Bapak sudah lama tinggal di Semarang?”
“Hampir 20 tahun, Mas. Kenapa?”
“Bapak tahu tentang tempat-tempat bersejarah di sekitar sini? Yang mungkin… agak mistis gitu?”
Pak Harto menatapnya dengan pandangan aneh. “Wah, Mas ini kayak mahasiswa sejarah ya. Iya, banyak, Mas. Semarang kan kota tua. Ada Sam Poo Kong, Gua Kreo, Kota Lama, Lawang Sewu… Kenapa, Mas?”
“Ah, cuma penasaran aja, Pak. Siapa tahu ada hubungannya dengan skenario besok.”
“Oh, kalau begitu…” Pak Harto duduk sebentar di kursi kosong. “Menara Candhi Waringin itu katanya dibangun di atas bekas komplek makam kuno. Makam para ulama dan bangsawan Demak. Jadi energi spiritualnya memang kuat.”
Informasi itu berharga. Mbarep mencatatnya di memori.
“Terima kasih, Pak. Ini sangat membantu.”
Pak Harto berdiri. “Sama-sama, Mas. Semoga kalian semua selamat besok ya.”
Ketulusan pria itu menyentuh hati mereka. Di tengah dunia yang semakin keras, masih ada orang seperti Pak Harto yang dengan tulus peduli pada sesama.
Setelah Pak Harto pergi, ketiga mata-mata Ates mulai beranjak. Mereka meninggalkan bayaran di meja dan keluar tanpa sepatah kata pun. Tapi pesan mereka sudah tersampaikan: kami mengawasi kalian.
“Mereka pergi,” bisik Arya.
“Tapi pasti akan ada yang lain,” tambah Kirana. “Kita harus waspada.”
Mbarep mengangguk. “Kita habiskan makanannya dulu, terus kita ke pasar. Kita butuh perlengkapan tambahan, dan aku ingin ketemu dengan kelompok Magelang yang kalian ceritakan juga.”
Mereka menghabiskan makanan mereka sambil merencanakan strategi untuk malam ini. Sandhi sudah kembali tenang, tapi telinganya masih bergerak-gerak, menangkap suara-suara yang tidak bisa didengar manusia.
“Sandhi ini kayak radar hidup ya,” komentar Bima sambil menggaruk belakang telinga Warak kecil itu. “Bisa ngerasain bahaya dari jauh.”
“Itu kemampuan alami Warak Ngendok, sebagai penjaga” jelas Mbarep. “Warak Ngendok memang diciptakan untuk menjaga keseimbangan. Dia bisa merasakan energi negatif dan ancaman sebelum kita menyadarinya.”
Lydia menatap Sandhi dengan penuh kasih sayang. “Untung dia ada di tim kita.”
Saat mereka sudah hampir selesai makan, suara pengumuman sistem kembali menggema di seluruh shelter.
“Pemberitahuan untuk seluruh penantang aktif di Zona 02.”
Seluruh aktivitas di warung terhenti. Semua mata tertuju pada hologram besar yang muncul di udara.
“Skenario II: Ujian Tiga Kerajaan akan dimulai tepat pukul 05:00 subuh. Lokasi: Menara Candhi Waringin. Jumlah peserta terdaftar: 1.247 penantang.”
“Persyaratan khusus: Setiap penantang harus memiliki minimal satu ‘Token Masuk’ yang dapat diperoleh melalui kontribusi komunitas, prestasi individual, atau pembelian dengan Koin Realitas.”
“Peringatan: Penantang yang tidak memiliki Token Masuk akan dieliminasi secara otomatis sebelum skenario dimulai.”
Panel hilang, meninggalkan keheningan yang mencekam.
“Token Masuk?” bisik Raditya. “Itu apa?”
Mbarep mengerutkan dahi. Ini bukan bagian dari novelnya. Sistem menambahkan elemen baru yang tidak ia prediksi.
“Kita harus cari tahu,” katanya tegas. “Dan cepat.”
Mereka bangkit dari meja, membayar makanan mereka kepada Pak Harto yang juga terlihat bingung dengan pengumuman tadi.
“Pak, Bapak tahu tentang Token Masuk ini?” tanya Lydia.
Pak Harto menggeleng. “Baru dengar, Mbak. Tapi kalau saya boleh saran, coba tanya di pasar. Biasanya pedagang-pedagang di sana cepat dapat informasi.”
“Terima kasih, Pak. Makanannya enak sekali.”
“Sama-sama, Mbak. Hati-hati ya.”
Mereka keluar dari warung dengan perasaan cemas. Matahari sudah semakin rendah, dan bayangan Menara Candhi Waringin semakin panjang menjulur ke arah shelter.
“Kita ke pasar,” putus Mbarep. “Kita cari informasi tentang Token Masuk ini, sekaligus beli perlengkapan yang kita butuhkan.”
Saat mereka berjalan menuju pasar darurat, Sandhi kembali gelisah. Ia menoleh ke kiri dan kanan, hidungnya bergerak-gerak mencium sesuatu yang tidak bisa dideteksi manusia.
“Ada apa lagi, Sandhi?” tanya Raditya.
Warak kecil itu menggeram pelan, suara yang hampir tak terdengar tapi penuh peringatan.
Mbarep mengaktifkan mata naganya secara halus, memindai area sekitar mereka. Yang ia lihat membuatnya menegang.
Aura-aura gelap sudah tersebar di mana-mana. Bukan hanya tiga orang tadi, tapi belasan mata-mata yang mengawasi mereka dari berbagai sudut. Jaring sudah dipasang. Mereka sedang diburu.
“Tetap tenang,” bisiknya kepada timnya. “Jalan terus seperti biasa. Tapi bersiap untuk apa pun.”
Mereka melanjutkan langkah menuju pasar, tidak menyadari bahwa di sebuah tenda mewah di ujung shelter, Ates Mangkubumi sedang tersenyum dingin sambil mengamati pergerakan mereka melalui jaringan mata-matanya.
Malam akan menjadi panjang, dan fajar yang menanti tidak akan membawa kedamaian.