Skip to content
Go back
Content Protected

Chapter 4 - Panggilan Menara Rengkah Jagad (II)

 •  8 menit waktu membaca

Chapter 4: Panggilan Menara Rengkah Jagad (II)

Saat mereka berjalan melewati area barak tengah, mata Mbarep menangkap dua sosok mencolok: sepasang pemuda dan pemudi dengan seragam hitam khas silat beladiri. Keduanya berdiri tenang di dekat salah satu tiang penyangga shelter, seolah tidak terganggu dengan hiruk-pikuk di sekitar mereka. Postur mereka tegap, ekspresinya waspada, dan gerakan tubuhnya terkontrol seperti atlet profesional.

“Mereka bukan orang sembarangan,” bisik Mbarep ke arah Kirana. Ia sudah mengintip jendela status mereka dari kejauhan—bakat fisik yang solid dan koordinasi antar individu yang terlihat dari data singkat. Keduanya punya potensi besar, pikirnya.

> Nama: Arya Suryoatmaja
> Umur: 24 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Konsentrasi Stabil
> Deskripsi: Seorang petarung bela diri yang punya kendali emosi kuat. Ia tetap fokus dan cepat tanggap meski berada di bawah tekanan besar. Saat situasi genting, dia tidak panik, bisa membaca gerakan lawan dengan tenang, dan membuat keputusan secara tepat tanpa tergesa-gesa.
> Nama: Bima Suryoatmaja
> Umur: 21 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Agresi Adaptif
> Deskripsi: Petarung silat dengan naluri ofensif tinggi. Mampu membaca ritme lawan secara naluriah setelah beberapa pertukaran serangan. Gesit, dan cenderung intuitif dalam duel jarak dekat.

Kirana hanya mengangguk setuju. Mereka pun mendekat.

“Permisi,” sapa Mbarep dengan nada sopan. “Kalian berdua kelihatan tidak panik dan sehat disini. Kami sedang coba bentuk kerja sama kecil untuk skenario nanti. Tertarik ngobrol sebentar?”

Pasangan itu saling melirik sejenak sebelum pemuda di antara mereka menjawab, “Boleh. Lagi santai aja nunggu skenario dimulai.”

Mbarep tersenyum, lalu memperkenalkan diri dan dua rekannya. “Saya Mbarep, ini Kirana, dan ini Raditya. Kami sudah sepakat untuk saling jaga selama skenario. Kami masih butuh tambahan kekuatan dan strategi.”

Pemuda itu mengangguk. “Saya Arya, ini adik saya Bima,  asli Temanggung.”

Bima menyeringai. “Kami memang anggota perguruan silat. Jadi kalau soal bela diri, bisa bantu dikit-dikit lah.”

Mbarep tertawa pelan, lalu menambahkan, “Tadi aku bilang ke mereka, dari semua skenario yang biasa muncul di cerita fiksi, biasanya dimulai dari perburuan monster. Jadi aku dan Kirana sempat ngobrol dan kami menduga—meskipun belum pasti—bahwa kemungkinan besar Skenario Pertama nanti juga mengarah ke situ. Tapi tentu aja, ini cuma spekulasi berdasar pola umum di cerita fiksi.”

“Monster kayak apa?” tanya Bima.

“Pernah nonton film atau baca manga soal monster-monster?” tanya Mbarep sambil menatap mereka satu per satu. “Biasanya, kalau di cerita-cerita fiksi, awal skenario dimulai dari yang kecil dulu. Makhluk kayak Slime atau Goblin, gitu. Masih bisa dilawan, apalagi kalau kerja sama.”

Ia mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu pasti sih. Tapi kalau dunia ini sekarang bisa tiba-tiba berubah kayak di film, bukan nggak mungkin kita juga bakal ketemu makhluk aneh kayak gitu. Jadi, ya… mending kita siap-siap.”

Arya— kakak perempuan dari Bima—mengangguk pelan. “Kalau soal gebuk-gebuk, kami bisa bantu. Kami memang nggak punya kemampuan aneh-aneh, tapi bela diri dasar semoga cukup untuk permulaan. Setidaknya buat ngusir sesuatu kalau datang.”

Bima mengangguk setuju. “Kami udah biasa baca situasi pas bertatung. Jadi kalau ada yang nyerang, langsung ada yang backup. Sebaliknya, kalau ada yang kesusahan, yang lain siap cover. Kami udah biasa kerja sama di lapangan.”

Mbarep dan Kirana saling pandang sekilas, lalu Mbarep menepuk pundak Bima. “Kalian cocok. Kerja bareng orang yang ngerti ritme satu sama lain itu penting. Selamat datang di tim.”

Raditya nyengir kaku, sementara Kirana hanya menatap mereka dengan evaluatif. Tapi senyum tipis di wajahnya menunjukkan persetujuan diam-diam.

Kelima orang itu kini berjalan bersama menyusuri lorong shelter, menembus keramaian relawan dan penantang yang saling berdesakan. Mbarep menatap mereka satu per satu—Raditya si pelajar penuh kecemasan tapi punya refleks adaptasi super, Kirana si analis data yang penuh kalkulasi, Arya sang kakak perempuan dengan latar belakang silat yang tenang dan tegas, serta Bima adiknya yang jauh lebih ekspresif tapi tidak sembrono.

“Eh, ngomong-ngomong… kita ini tim, kan?” ujar Bima sambil melirik ke kiri dan kanan. “Namanya apa, nih? Masa tim tanpa nama aja?”

“Jadi… kita ya,” ucap Mbarep sambil melihat sekeliling. “Tim dadakan yang akan masuk bareng. Eh, ngomong-ngomong, kalian ada ide nama tim? Aku jujur nggak kepikiran.”

Kirana mengangkat bahu ringan. “Sama. Aku juga nggak tahu.”

Mbarep tertawa kecil. “Ahahaha, yang penting semangatnya duluan.”

Kirana menyeringai kecil. “Semangatnya belum tentu cukup, tapi ya—paling nggak kita nggak sendiri.”

Bima—dengan gaya khasnya yang ekspresif—tiba-tiba menoleh ke belakang sambil menepuk tangan, “Eh! Jangan belakangan, karena belum ada nama timnya, aku yang akan buat yaa! Kalau gitu… namanya apa yaaaaa? Gimana kalau… Shadow Reaper of The Crimson Dawn!”

Semua langsung menatap Bima.

Raditya berkedip pelan. “Itu… nama tim?”

Bima mengangkat kedua tangan dramatis. “Bayangin! Kita melangkah keluar dari menara, cahaya biru di belakang, kabut menyelimuti… lalu ada suara: ‘Datanglah mereka—Shadow Reaper of The Crimson Dawn!’”

Arya menyentuh jidatnya. “Bima. Cukup.”

Kirana menatap ke depan sambil berbisik, “Aku sudah tahu dia engga beres dari awal.”

Mbarep hanya terkekeh. “Yang penting semangatnya. Nanti kita pikirkan lagi.”

Mereka terus berjalan, dan saat langkah mereka menyusuri lorong barak barat, Mbarep berjalan sejajar dengan Kirana.

“Sebenarnya… aku masih ingin ajak satu orang lagi. Dulu kami rekan kerja. Dia pindah kota, tapi aku yakin orang kayak dia bisa bantu banyak kalau gabung.”

“Siapa namanya?” tanya Kirana, tidak menoleh.

“Lydia,” jawab Mbarep. “Dulu dia team leader-ku waktu aku masih kerja Customer Service. Dia relawan, sama kayak kamu Kirana. Mungkin kamu udah pernah liat dia juga.”

Kirana mengangguk singkat. “Kalau kamu yakin dia bisa diandalkan, kita cari. Tapi cepat. Countdown tinggal sebentar lagi.”

Mbarep menatap sekitar, matanya menyapu diseluruh tempat, dapur umum, tenda darurat, dan area administratif shelter. Mereka pun mulai menapaki arah tenda utama di bagian timur—tempat informasi pengungsi. Di sana, di antara kerumunan relawan, Mbarep mengenali sosok perempuan berambut lurus yang sedang membolak-balik dokumen itu.

“Itu dia,” ucap Mbarep pelan, lalu mempercepat langkah.

“Lydia!” panggilnya.

Lydia menoleh. Matanya melebar sejenak, lalu senyum kecil muncul di wajahnya. “Mbarep?”

“Iya. Hai, Kita nyari kamu dari tadi,” ujar Mbarep.

Lydia mendekat. “Kita?”

Mbarep mengangguk dan menoleh ke belakang. “Iya. Ini timku. Biar aku kenalin.”

Ia menunjuk satu per satu. “Raditya Mahadewa Nugroho, pelajar. Kirana Maharani, mantan analis pemda. Arya Suryoatmaja, pendekar silat. Dan adiknya, Bima Suryoatmaja.”

Lydia mengangguk ramah ke masing-masing.

“Kami butuh satu orang lagi yang bisa bantu. Dan kamu orang pertama yang kepikiran di kepala aku,” ucap Mbarep jujur.

Lydia tertawa kecil. “Kamu ini… dari dulu memang bisa diandalkan ya. Mungkin karena kamu anak pertama, jadi udah biasa mikir buat orang lain.”

Mbarep nyengir. “Sedikit tekanan, tapi ya… begitu kira-kira.”

Lydia menatap mereka semua, lalu menarik napas. Senyumnya tipis, tapi matanya menunjukkan keyakinan. Ia melangkah sedikit mendekat dan berkata singkat, “Baiklah, aku ikut. Aku Lydia, teman Mbarep.” 

Mbarep mengangguk mantap. Enam orang sekarang. Tim sementara mereka sudah terbentuk. Tidak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Semua orang di shelter sedang mempersiapkan diri. Waktu tersisa hanya sebentar.

Mbarep kemudian menggunakan kemampuan Mata Penulisnya untuk memastikan bahwa pilihan mengajak Lydia adalah keputusan yang tepat juga. Muncul dihadapan mbarep, jendela status informasi milik Lydia.

> Nama: Lydia Saras Dwiastuti
> Umur: 26 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Sahabat Energi
> Deskripsi: Memungkinkan pengguna untuk merasakan, berinteraksi, dan memanfaatkan energi alami dari lingkungan sekitar. Memiliki firasat yang akurat tentang perubahan cuaca, gempa kecil, atau gangguan ekosistem serta dapat "merasakan" kesehatan tanaman, kualitas air, atau polusi udara tanpa alat.

“Tim kita udah lengkap sementara. Saatnya bersiap ke menara,” gumam Mbarep. Matanya menatap langit yang keunguan di luar jendela aula.

Countdown tinggal satu menit lagi.

Countdown: 00:00:10

Seluruh penantang berkumpul di lapangan luar shelter. Hologram countdown membesar di langit. Angka-angka menyala seperti petir digital: 00:00:09… 08… 07…

Suaranya berhenti. Countdown: 3… 2… 1…

Cahaya biru membungkus seluruh lapangan.

[Memasuki Skenario I: Pasar Tanpa Waktu]

Mbarep membuka matanya. Ia berdiri bersama lima rekannya di tengah-tengah tempat asing: sebuah pasar malam kuno dengan lentera merah dan gerobak kayu, menggantung dalam kehampaan. Tidak ada langit. Tidak ada tanah. Hanya platform pasar yang melayang di udara, dengan kabut hitam di sekelilingnya.

Di sampingnya berdiri Lydia Saras Dwiastuti, Kirana Maharani, Raditya Mahadewa Nugroho, Arya Suryoatmaja, dan Bima Suryoatmaja—enam orang yang dipertemukan oleh krisis dan ketidakpastian, kini membentuk satu kesatuan kecil dalam absurditas dunia baru ini.

Suara sistem menggema di udara:

Skenario I: Bertahan selama 30 Menit di Pasar Tanpa Waktu.
Objektif Tambahan: Temukan Token Penjaga Menara untuk menyelesaikan skenario
Penantang yang tidak aktif atau diam di tempat lebih dari 60 detik akan dieliminasi.

Mbarep menelan ludah. Ini bukan game. Ini nyata. Dan semuanya dimulai dari sini.


Komentar


📱

Install Aksara Karsa

Akses lebih cepat dan nikmati pengalaman membaca yang lebih baik