Chapter 13: Ujial Kuil Harmoni (III)
Jalan menuju pilar terakhir terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Setiap langkah terasa berat, seolah gravitasi di dalam kuil ini meningkat sepuluh kali lipat. Ruangan di hadapannya adalah sebuah kubah kegelapan yang absolut dan tak berbatas. Tidak ada lantai, tidak ada langit-langit, hanya kehampaan hitam yang seolah bisa menelan suara dan cahaya. Di tengah ketiadaan ini, melayang sebuah pilar tunggal yang terbuat dari kegelapan yang lebih pekat, sebuah lubang hitam visual yang menarik kesadaran Mbarep ke dalamnya. Di sinilah akhir dari perjalanannya, titik di mana ia harus menghadapi musuh yang paling mustahil: dirinya sendiri.
Mbarep berdiri di ambang batas, napasnya berat, tubuhnya penuh luka. Keempat kristal di sakunya terasa dingin, tidak lagi memberikan kehangatan. Ia merasa benar-benar sendirian, terisolasi dalam keheningan yang memekakkan. Bahkan suara detak jantungnya sendiri seolah teredam dan lenyap ditelan kehampaan.
Pilar hitam itu beriak, permukaannya yang seperti ketiadaan berubah menjadi cermin sempurna. Di dalamnya, muncul bayangan dirinya. Dirinya sebagai Penulis Novel. Sehat, nyaman, duduk di kursi kerjanya, dengan senyum sinis yang seolah mengejek kondisi Mbarep yang menyedihkan.
“Lihatlah dirimu,” suara bayangan itu menggema di benaknya, lebih jernih dan lebih kuat dari sebelumnya. “Hancur dan babak belur. Untuk apa semua ini? Hanya untuk membuktikan sebuah poin yang tidak penting?”
“Ini bukan tidak penting,” balas Mbarep dalam hati, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tekadnya. “Ini tentang menerima siapa diriku sekarang.”
Bayangan itu tertawa, tawa yang dingin dan tanpa humor. “Siapa dirimu sekarang? Sebuah karakter? Sebuah bidak catur yang malang? Jangan menipu dirimu sendiri. Kau dan aku adalah satu. Aku adalah dirimu yang sebenarnya. Dirimu yang lebih superior. Dirimu yang memegang pena.”
Bayangan itu mengangkat tangannya di dalam cermin, dan di tangannya muncul sebuah pena bulu yang terbuat dari kegelapan. “Kau ingin menyelamatkan teman-temanmu? Kau ingin mengalahkan para tiran? Kau ingin menghentikan semua ini? Mudah saja.”
Konstelasi [#!%26@&912!] mengawasi tindakanmu. Berharap kamu memutuskan dengan bijak kali ini.
Sebelum Mbarep bisa menjawab, panel notifikasi dari konstelasinya muncul kembali. Dunia di sekelilingnya berubah. Seketika panel dihadapanya lenyap, koneksi dengan konstelasinya terputus. Kegelapan kuil lenyap, digantikan oleh cahaya matahari yang hangat dan suara riuh rendah sebuah kota yang damai. Ia berada di sebuah kafe di Salatiga, kafe yang sama tempat ia biasa menulis. Di meja di hadapannya, duduk Lydia, Kirana, Arya, Bima, dan Raditya. Mereka tertawa, bercanda, tidak ada bekas luka, tidak ada trauma di mata mereka.
“Barep, kok melamun?” tanya Lydia sambil tersenyum, menyodorkan secangkir kopi panas padanya. “Mikirin novel barumu lagi, ya? Jangan yang sedih-sedih lagi dong akhirnya.”
Mbarep tertegun. Semuanya terasa begitu nyata. Aroma kopi arabika yang baru diseduh, kehangatan cangkir keramik di tangannya, tawa Bima yang membahana saat bercanda dengan Arya, Kirana yang dengan sabar menjelaskan sesuatu pada Raditya. Ia bisa merasakan kehangatan persahabatan mereka, sebuah kedamaian yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Lihat?” bisik suara bayangannya di dalam kepalanya. “Aku bisa menulis ini. Kebahagiaan yang nyata. Kedamaian yang nyata. Hanya dengan satu kalimat. Apa yang kau perjuangkan di luar sana bisa menandingi ini? Penderitaan, darah, dan kehilangan? Untuk apa?”
Tiba-tiba, pemandangan berubah lagi. Kini ia berdiri di atas sebuah panggung megah di alun-alun Simpang Lima. Di kakinya, tergeletak sesosok tiran—bukan Ates, tetapi sebuah arketipe raja lalim dengan mahkota yang retak. Di sekelilingnya, ribuan penantang bersorak-sorai, meneriakkan namanya sebagai sang pembebas. Ia menoleh pada teman-temannya yang berdiri di sisinya. Mereka menatapnya dengan penuh kekaguman.
“Kau berhasil, Barep! Kau menyelamatkan kami semua!” seru Bima, matanya berbinar.
Namun, saat Mbarep menatap mata mereka lebih dalam, ia melihat sesuatu yang lain di balik kekaguman itu. Secercah rasa takut. Jarak yang tak terlihat. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai teman, tetapi sebagai pemimpin, sebagai kekuatan yang harus dihormati dan ditakuti.
“Kekuasaan menuntut pengorbanan,” bisik suara bayangannya lagi. “Rasa takut mereka adalah perisai yang melindungimu. Rasa hormat mereka adalah senjatamu. Bukankah ini lebih baik daripada melihat mereka mati karena kelemahanmu?”
Pemandangan berubah untuk terakhir kalinya. Ia kini sendirian, duduk di puncak menara tertinggi, menatap dunia yang telah damai di bawahnya. Teman-temannya telah melanjutkan hidup mereka, membangun kembali peradaban. Mereka bahagia, tetapi mereka jauh. Mereka ada di bawah sana, sementara ia di atas sini. Ia adalah dewa yang kesepian, pengamat abadi dari kebahagiaan yang ia ciptakan tetapi tidak bisa ia rasakan.
“Inilah ketenangan sejati,” kata suara itu, penuh dengan bujukan filosofis. “Melepaskan ikatan, menjadi pengamat yang tidak terikat. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi kehilangan. Inilah puncak dari keberadaan seorang pencipta.”
Ilusi itu pecah. Mbarep kembali ke dalam kuil yang gelap, terengah-engah, jiwanya terkoyak oleh tiga kemungkinan takdir yang sama-sama mengerikan. Bayangannya di dalam cermin menatapnya, menunggu jawabannya.
“Tidak…” bisik Mbarep, suaranya terdengar lemah bahkan bagi dirinya sendiri. “Semua itu… semua itu hanya kebohongan. Pelarian.”
“Kenapa kau begitu yakin?” desak bayangan itu, nadanya kini menjadi tajam dan menusuk. “Karena itu tidak ‘nyata’? Apa yang nyata di dunia ini? Apakah penderitaan teman-temanmu itu nyata? Ya. Apakah kematian mereka nanti akan nyata? Tentu saja. Kau bisa mencegah semua itu! Menolakku berarti kau secara sadar memilih membiarkan mereka menderita dan mati! Pilihanmu untuk menjadi ‘manusia’ adalah pilihan yang paling egois dari semuanya! Kau melakukan ini demi kepuasan moralmu sendiri, bukan demi mereka!”
Logika yang terpelintir itu menghantam Mbarep seperti palu godam. Apakah ia benar? Apakah dengan menolak kekuatan ini, ia justru mengutuk teman-temannya karena keegoisan moralnya sendiri? Keraguan mulai merayap masuk ke dalam hatinya yang lelah, menggerogotinya seperti racun. Ia goyah.
Melihat keraguan itu, bayangan di cermin tersenyum. Senyumnya kini tidak lagi sinis, melainkan penuh dengan rasa kasihan yang merendahkan. “Sudah cukup bermain-main menjadi pahlawan. Kau lelah. Waktunya kembali ke takhtamu. Waktunya pulang.”
Tiba-tiba, tangan bayangan itu menembus permukaan cermin. Bukan lagi sekadar pantulan, ia menjadi entitas nyata. Tangan yang terbuat dari kegelapan pekat itu meraih bahu Mbarep. Rasanya dingin sekali, sedingin kematian.
“A-apa yang kau lakukan?” gagap Mbarep, mencoba melepaskan diri, tetapi tubuhnya terasa lumpuh oleh keraguan.
“Menyatukan kembali diri kita,” bisik bayangan itu. Semakin banyak sulur-sulur kegelapan keluar dari cermin, melilit tubuh Mbarep seperti ular. “Aku adalah egomu. Aku adalah kekuatanmu. Aku adalah dirimu. Kau tidak bisa mengalahkanku, karena kau tidak bisa mengalahkan dirimu sendiri.”
Sulur-sulur itu tidak hanya meremukkan tulangnya, tetapi juga mulai menarik keluar ingatannya. Ia melihat kenangan pertarungannya bersama timnya diputar mundur, warnanya memudar, lalu menjadi hitam putih, sebelum akhirnya hancur menjadi debu. Perasaan hangat saat berbagi ransum dengan Lydia, momen adu argumen konyol dengan Bima, rasa kagum pada analisis Kirana, semua itu ditarik paksa darinya, meninggalkan kekosongan. Yang tersisa hanyalah ingatan dingin dan terasing sebagai seorang penulis yang menatap layar laptop.
Mbarep berjuang sekuat tenaga. Ia mencoba mengingat wajah teman-temannya, tetapi yang muncul hanyalah deskripsi karakter yang pernah ia tulis. Ia mencoba mengingat suara mereka, tetapi yang terdengar hanyalah ketukan keyboard. Identitasnya sebagai “Mbarep si Penantang” sedang dihapus secara paksa.
Ia kalah. Ia tidak bisa menang melawan bagian terkuat dari dirinya sendiri.
Ia menatap ke dalam mata bayangannya yang kini hampir menyatu dengannya, dan untuk pertama kalinya, ia menyerah. Bukan karena ia memilih, tetapi karena ia sudah tidak punya kekuatan lagi untuk melawan. Tidak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan.
“Aku… kalah…”
Itu adalah pemikiran terakhirnya.
Sulur-sulur kegelapan itu menyelimuti seluruh tubuhnya. Cahaya di mata Mbarep meredup, lalu padam sepenuhnya. Tubuhnya yang terkulai lemas jatuh ke lantai batu andesit dengan suara debuman yang pelan dan final.
Di hadapannya, panel sistem berkedip dengan warna merah darah, menampilkan pesan yang dingin dan absolut.
[KEHIDUPAN TIDAK TERDETEKSI]
[SUBJEK: MBAREP KUSUMA - DINYATAKAN TEWAS]
Kegelapan total. Keheningan abadi. Mbarep telah mati.