Chapter 14: Raja Jawa Pembangun Takhta Darah
Pagi merekah di tepian Ungaran, menyapu sisa-sisa embun malam dari puing-puing peradaban. Udara terasa dingin dan tegang. Rombongan Salatiga yang berjumlah 41 orang berkumpul dengan gelisah. Semalam adalah malam yang panjang dan aneh. Pertemuan mereka dengan makhluk mitologi yang bangkit—seekor bayi Warak Ngendok—meninggalkan jejak keajaiban sekaligus kecemasan.
Makhluk kecil itu, seukuran anjing sedang, kini dengan tenang mengikuti Raditya Mahadewa Nugroho. Sisiknya yang keras seperti baja berwarna hijau lumut, dan dari punggungnya keluar beberapa tunas batu bara yang mengeluarkan asap tipis. Matanya yang besar dan kuno menatap dunia dengan rasa ingin tahu yang polos, seolah tidak menyadari kekacauan di sekitarnya. Kehadirannya adalah anomali, sebuah fragmen dari dongeng yang kini berjalan di antara mereka.
Para lansia dan anak-anak akhirnya mendapatkan waktu istirahat yang layak. Sementara itu, orang-orang lainnya perlahan mulai menerima kenyataan baru yang harus mereka hadapi. Kehilangan keluarga, sahabat, atau orang-orang yang mereka kenal tentu bukan hal mudah, namun hidup tak memberi pilihan selain terus berjalan. Mereka mulai menyadari—ini bukan mimpi buruk yang bisa mereka bangun darinya, melainkan kenyataan yang harus dijalani.
“Kita tidak bisa menunda lagi,” suara Lydia memecah keheningan. Ia berdiri di depan rombongan, memancarkan aura kepemimpinan yang dipaksakan untuk tenang. “Pengumuman dari Juru Ghaib jelas. Skenario berikutnya dimulai di Semarang, berdasarkan waktu sekarang, skenario tersebut akan dimulai dalam waktu kurang dari 24 jam. Kita harus berangkat sekarang.”
Rombongan mulai bergerak. Mereka adalah sisa-sisa dari sebuah kota, kini menjadi satu keluarga besar yang dipaksa oleh takdir. Bayi Warak Ngendok itu melompat dengan lincah, bermain - main di sebelah Bima yang menatapnya dengan mata berbinar.
“Gimana kalau kita kasih nama dia ‘Gruduk’? Soalnya jalannya grudak-gruduk!” usul Bima dengan antusias.
“Jangan ngawur. Ini makhluk suci, bukan mainanmu,” balas Arya, melirik tajam adiknya sambil mengamankan peralatannya.
“Hahaha, Kakakmu benar Bim. Ini makhluk suci, kalau perihal begini aku rasa itu wilayahnya Mbarep. Dia sangat pintar dalam sejarah dan mitologi. Barangkali dia bisa kasih saran satu atau dua nama nanti.” Timpal Lydia tertawa lepas mendengar obrolan Kakak Beradik Suryoatmaja itu.
Perjalanan mereka terasa berat. Jalanan aspal yang dulu mulus kini retak dan ditumbuhi lumut. Mereka menyusuri jalur alternatif, menghindari jalan utama yang kemungkinan besar menjadi sarang makhluk ilusi. Setelah beberapa jam berjalan kaki, saat matahari mulai terasa terik, mereka memutuskan untuk beristirahat di bawah reruntuhan sebuah SPBU tua.
Saat itulah, dari arah depan, mereka melihat serombongan orang lain berjalan dengan tenang. Mereka berjumlah sekitar tiga puluh orang, mengenakan pakaian sederhana berwarna cokelat tanah dan hijau daun. Mereka tidak membawa senjata tajam yang mencolok, hanya tongkat kayu dan tas-tas kain yang menggembung berisi herbal.
Arya dan Bima refleks mengambil posisi siaga, melindungi rombongan Salatiga di belakang mereka. Kirana menyipitkan mata, menganalisis. Tidak ada aura permusuhan dari kelompok itu.
Di depan barisan mereka, berjalan seorang wanita tua. Rambutnya telah memutih seluruhnya, digelung rapi dengan tusuk konde dari kayu. Ia mengenakan kebaya lurik sederhana dan kain jarik batik dengan motif parang yang sudah memudar. Wajahnya penuh keriput, namun matanya jernih dan teduh, memancarkan kebijaksanaan yang mendalam. Ia berjalan tanpa alas kaki, langkahnya mantap dan ringan seolah menyatu dengan tanah yang dipijaknya.
Wanita tua itu berhenti beberapa meter di depan mereka. Pandangannya tidak tertuju pada Lydia atau Kirana yang berada di depan, melainkan langsung pada bayi Warak Ngendog yang bersembunyi di belakang kaki Raditya.
“Anak naga itu…” bisik wanita tua itu, suaranya serak namun terdengar jelas di tengah kesunyian. “Jiwanya baru saja dibersihkan. Tapi lukanya masih basah.”
Seluruh tim Mbarep tertegun. Bagaimana ia bisa tahu?
Lydia memberanikan diri melangkah maju. “Nyuwun sewu, Eyang. Kami dari Salatiga, hendak menuju Semarang.”
Wanita tua itu tersenyum, senyum yang seolah bisa menenangkan badai. “Aku tahu, Ngger. Tanah ini sedang berbicara. Kami dari lereng Merapi, juga menuju ke arah yang sama. Panggil aku Eyang Putri.”
Salah satu pengikutnya, seorang pemuda, maju dan menawarkan kantung air kepada Lydia. “Silakan diminum. Perjalanan masih jauh.”
Keramahan yang tulus itu melucuti kewaspadaan mereka. Rombongan Salatiga dan Magelang itu pun berbaur, berbagi air dan sedikit makanan ringan. Eyang Putri mendekati Raditya dan bayi Warak. Ia tidak menyentuh makhluk itu, hanya menatapnya dengan lembut.
“Jangan takut, Nak,” katanya pada Raditya. “Makhluk ini memilihmu karena hatimu masih bersih. Jaga dia baik-baik. Dia bukan sekadar hewan, tapi penjaga keseimbangan.”
Kemudian, ia menoleh pada Lydia. Matanya seolah bisa menembus lapisan terluar dan melihat langsung ke dalam jiwa. “Leluhur yang bersamamu… ‘Penjaga Cahaya Kahyangan’. Kekuatan yang besar, tapi juga beban yang berat. Kau punya bakat menyembuhkan, tidak hanya fisik, tapi juga jiwa yang terluka. Seperti yang kau lakukan pada anak naga ini.”
Lydia terperangah. Eyang Putri seolah bisa membaca status window miliknya.
Kirana, yang sejak tadi mengamati, menyadari sesuatu. Di atas kepala Eyang Putri, meski sangat samar, ia bisa merasakan aura konstelasi yang sangat kuat dan tua. Sesuatu yang berbau tanah, api, dan kehidupan.
“Eyang,” Kirana memberanikan diri bertanya, “Eyang itu juru kunci Gunung Merapi nggih ?”
Eyang Putri terkekeh pelan. “Matamu tajam, Nduk. Ya. Eyang adalah Juru Kunci Merapi, Leluhur yang bersama Eyang adalah “Roh Penjaga Merapi” Para leluhur tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali membimbing.”
Ia kemudian mengambil beberapa lembar daun sirih dari kantung kainnya. “Kota Atlas… Semarang… adalah tempat yang berbeda. Energi menaranya lebih pekat, dan hati manusianya… lebih keras. Kalian akan butuh ini.”
Eyang Putri mengajarkan mereka cara membuat jimat sederhana. Selembar daun sirih yang dilipat tujuh kali sambil menahan napas dan memanjatkan doa dalam hati—doa untuk keselamatan dan perlindungan. Lalu, lipatan daun itu diikat dengan benang putih.
“Ini bukan sihir hebat,” jelas Eyang Putri sambil menyerahkan satu jimat pada Lydia. “Ini hanya pengingat. Pengingat agar hati kalian tetap terhubung dengan alam, agar tidak mudah terhasut oleh energi negatif dari menara, maupun dari keserakahan manusia lain.”
Lydia menerima jimat itu. Rasanya hangat di telapak tangannya. Timnya pun mengikuti, masing-masing membuat jimat mereka sendiri di bawah bimbingan para pengikut Eyang Putri. Ada perasaan tenang dan damai yang menyelimuti mereka, sebuah kehangatan yang sudah lama tidak mereka rasakan.
Setelah beristirahat sejenak, kedua rombongan itu bersiap melanjutkan perjalanan.
“Kami akan berjalan lebih lambat,” kata Eyang Putri. “Kami mengikuti irama bumi, bukan irama sistem. Kalian pergilah lebih dulu. Tapi ingat pesanku, di Kota Semarang nanti, banyak hati yang lebih keras dari batu candi dan lebih serakah dari api neraka. Jaga satu sama lain.”
Dengan ucapan perpisahan yang hangat, kelompok Magelang melanjutkan perjalanan mereka dengan langkah yang tenang, sementara rombongan Salatiga merasa semangat mereka terisi kembali. Pertemuan singkat itu memberi mereka lebih dari sekadar jimat; pertemuan itu memberi mereka harapan.
Tujuan mereka adalah Shelter 11 Jatidiri, dan dari kejauhan, mereka sudah bisa melihat puncaknya: Menara Candhi Waringin. Menara itu menjulang seperti candi raksasa yang dibangun dari batu hitam dan emas, memancarkan aura kekuatan yang jauh lebih menekan daripada menara di Salatiga.
Akhirnya mereka tiba di Shelter 11 ini. Shelter 11 Jatidiri bukan sekadar tempat perlindungan; ia adalah sebuah kota mini yang lahir dari reruntuhan, tempat pertemuan para penyintas dan penantang dari seluruh penjuru Jawa Tengah. Di balik pagar berduri dan rintangan sihir, tempat ini berdetak dengan ritme harapan dan persaingan. Setiap sudutnya dipenuhi kesibukan manusia yang berusaha bertahan di tengah dunia yang telah berubah selamanya.
Di sisi timur, berdiri dapur umum yang mengepul sejak fajar. Beberapa sukarelawan dari kelompok Magelang dengan cekatan membagi-bagikan bubur kacang hijau dan air hangat. Aromanya menyebar hingga ke barisan luar, menjadi pengingat bahwa meski dunia kacau, secangkir makanan hangat masih bisa memberi rasa damai.
Di samping dapur umum, sistem informasi terpampang di papan digital besar, dikelilingi oleh beberapa layar mantra yang menampilkan peta zona skenario, estimasi waktu dimulainya skenario, dan laporan penampakan makhluk ilusi. Setiap dua jam, informasi diperbarui oleh operator Shelter—beberapa di antaranya mantan pegawai BMKG dan relawan IT dari Semarang yang kini bekerja tanpa lelah.
Di zona tengah Shelter, terdapat pasar darurat. Stand-stand berdiri dari bahan seadanya: terpal, bambu, dan logam sisa. Di sana, para pedagang menawarkan barang-barang penting: pisau, panah, jimat pelindung, akar penambah stamina, hingga kantong tidur berlapis mantra. Seorang pandai besi dari Banyumas memukul-mukul logam panas dengan palu besar, menciptakan bunyi dentang yang terdengar hingga ke Menara. Di belakangnya, beberapa senjata hasil tempaan dipajang rapi—pedang pendek dari besi lava, perisai dari kayu jati perhutani, hingga tombak bermata tiga. Mereka melakukan dan berkontribusi dengan apa yang mereka bisa. Menerima pertukaran dengan makanan ataupun perlindungan nyawa saat ke Menara. Semakin banyak yang selamat, akan mudah membangun ulang peradaban hancur kembali.
Menariknya, di antara semua fasilitas baru yang muncul pasca-tower, ada satu bangunan lama yang masih berdiri utuh—sebuah toko kelontong kecil, Warung Madura di pojok selatan shelter. Banner MMTnya masih jelas tertulis “Toko Barokah – Murah dan Lancar - 24 Jam Buka - Tutup Ketika Kiamat”. Anehnya, pemilik toko tersebut—seorang pria paruh baya berpeci hitam dengan logat khas Jawa timur—masih bertahan, seolah bencana tower tak menyentuhnya.
Toko itu tetap meski dunia telah menjadi seperti ini. Di balik etalase kayu yang sudah kusam, ia membagikan makanan darurat secara gratis—biskuit energi, kopi sachet, mi instan, dan air mineral. Di rak belakang, tersedia juga obat-obatan dasar seperti paracetamol, minyak kayu putih, dan plester luka. Ketika ditanya mengapa masih buka dan memberikan barang-barang secara cuma-cuma, sang pemilik hanya tersenyum kecil dan berkata, “Kalau rejeki sudah ditakar, tak perlu dihitung. Negeri sudah seperti ini, yang penting kita semua selamat, Mas.”
Tempat itu pun menjadi titik singgah banyak penantang yang kelelahan, baik untuk beristirahat sejenak, sekadar menyeruput kopi panas, atau hanya untuk merasa bahwa dunia belum sepenuhnya kehilangan hati nurani.
Kemudian, Lydia, Kirana, dan Arya berjalan pelan di antara stand-stand dibelakang Warung Madura itu, memperhatikan keramaian dan mencatat harga barang di pikiran mereka.
“Kita butuh lebih banyak perlengkapan untuk hadapi skenario nanti,” gumam Kirana. “Tapi kita juga harus hemat cadangan.”
Setelah cukup mengamati stand dan pasar sekitar, merekapun melanjutkan perjalanan menuju arah selatan Shelter. Mereka mengikuti jalan batu setapak mengarah ke kaki Menara Candhi Waringin. Bangunannya menjulang, lebih megah dari yang terlihat dari kejauhan. Dindingnya disusun dari batu hitam mengilap yang terasa memancarkan panas, namun bukan panas biasa—panas yang terasa hingga ke dalam dada, seolah menyalakan ambisi siapa pun yang mendekat. Di sela-sela batu, mengalir alur emas yang tampak seperti urat nadi, menyala pelan dalam ritme tertentu. Ada suara samar dari puncaknya, seperti suara kidung tua yang dinyanyikan oleh para leluhur.
Ukiran-ukiran di dinding Menara menggambarkan fragmen cerita rakyat yang saling bersambung—Gunung Tidar sebagai poros Jawa, raja-raja Mataram, dan siluet makhluk-makhluk legenda. Tangga masuk ke Menara dijaga oleh dua patung Garuda setinggi enam meter, masing-masing menggenggam keris dan tombak. Siapa pun yang menatap mata Garuda itu akan merasa seolah tengah dihakimi.
Setelah beberapa waktu mengelilingi area Shelter, rombongan Salatiga berpapasan dengan berbagai kelompok dari seluruh penjuru Jawa Tengah. Ribuan penantang telah berkumpul di sini—dari Solo, Tegal, Pemalang, Magelang, Jepara, Kudus, hingga kota-kota lainnya. Setiap kelompok membawa panji atau lambang kota mereka masing-masing, menciptakan pemandangan yang semarak sekaligus menegangkan.
Di antara keramaian itu, selain lega saat mereka bertemu dengan kelompok dari Magelang—yang langsung terasa berbeda. Sapaannya hangat, tanpa beban, dan tidak menyembunyikan maksud tersembunyi. Mereka juga bertemu dengan kelompok lain yang mereka jumpai, kelompok lain tak berkata banyak, kelompok yang sangat dingin. Sikap mereka menyiratkan jarak, ketegangan, bahkan kecurigaan. Banyak daerah tampaknya mulai membentuk aliansi atau faksi-faksi kecil, saling mengamati dan mengukur satu sama lain dalam atmosfer yang terasa rapuh dan mudah berubah.
“Tetap waspada. Di sini, meski kadang terlihat baik, manusia bisa lebih berbahaya daripada monster,” bisik Kirana, matanya dengan cepat memindai setiap sudut.
Rombongan Salatiga, dengan konvoi mereka yang sederhana dan kehadiran bayi Warak Ngendok yang mencolok, segera menjadi pusat perhatian. Makhluk mitologi itu mengundang tatapan ingin tahu, iri, dan serakah dari banyak mata.
Namun, ada satu kelompok yang tatapannya terasa paling tajam. Mereka tidak perlu berteriak atau memamerkan kekuatan untuk disegani. Semua orang seolah secara otomatis memberi mereka jalan. Mereka adalah kontingen dari Solo.
Kelompok Solo berjumlah paling banyak dan paling terorganisir. Mereka mengenakan seragam tempur improvisasi berwarna hitam dengan aksen emas, merupakan kelompok paling mewah dari kelompok lainnya. Di tengah formasi mereka yang disiplin, duduk di atas tumpukan peti logistik seolah itu adalah sebuah singgasana, seorang pria sedang mengamati sekelilingnya.
Namanya Ates Mangkubumi. Sosoknya ramping, wajahnya aristokratik, dan senyumnya tipis. Namun di balik penampilan yang beradab itu, matanya memancarkan kekejaman yang dingin dan kecerdasan yang licik. Di atas kepalanya, meski tak kasat mata, melayang aura konstelasi yang bengis: ‘Sang Raja Jawa’, entitas dari seorang penguasa masa lalu yang membangun kerajaannya di atas penaklukan dan pengkhianatan.
Perhatian Ates langsung tertuju pada anomali di tengah rombongan Salatiga: bayi Warak Ngendok. Makhluk mitos adalah simbol kekuatan dan bisa jadi kunci untuk mendapatkan hadiah unik dari sistem. Ia menginginkannya.
Seorang letnan kepercayaannya mendekat. “Tuan, makhluk itu…”
“Aku lihat,” potong Ates, suaranya tenang namun mematikan. “Cari tahu siapa pemimpin mereka. Beri mereka penawaran. Aku ingin makhluk itu.”
Letnan itu mengangguk dan berjalan membelah kerumunan, mendekati konvoi Salatiga. Ia berhenti di depan Lydia, yang secara alami melangkah maju sebagai perwakilan.
“Salam kenal. Saya mewakili Tuan Ates Mangkubumi dari rombongan Solo,” kata letnan itu, nadanya sopan namun mengandung tekanan yang tidak bisa diabaikan. “Tuan kami sangat terkesan dengan makhluk langka yang kalian bawa. Beliau bersedia memberikan kompensasi yang layak—perbekalan, senjata, atau perlindungan—sebagai gantinya.”
Seluruh tim inti Salatiga menegang. Ini bukan penawaran, ini adalah permintaan yang dibungkus dengan sutra.
Lydia menatap kesemua rekannya, dan kemudian menatap lurus ke mata letnan itu, wajahnya tenang. “Terima kasih atas tawarannya. Tapi makhluk ini mengikuti kami atas kehendaknya sendiri. Dia adalah rekan seperjalanan, bukan barang untuk dipertukarkan.”
Jawaban yang tegas dan tanpa kompromi itu membuat sang letnan terdiam sejenak. Ia tidak menyangka penolakan yang begitu lugas dari kelompok yang tampak lebih lemah. Ia hanya mengangguk tipis, berbalik, dan kembali ke singgasana darurat tuannya.
Di seberang lapangan, Ates Mangkubumi menerima laporan kegagalan itu. Ia tidak marah. Ia tidak berteriak. Reaksinya jauh lebih menakutkan.
Sebuah senyum yang sangat tipis dan dingin tersungging di bibirnya. Ia menatap rombongan Salatiga, matanya kini tidak lagi hanya tertuju pada sang Warak, tetapi pada wanita yang berani menolaknya. Baginya, penolakan bukanlah akhir dari negosiasi. Itu adalah awal dari sebuah penaklukan.
“Baiklah,” bisik Ates pada dirinya sendiri, jemarinya dengan lembut mengelus gagang keris yang terselip di pinggangnya. “Jika mereka tidak mau menyerahkannya dengan baik-baik, maka kita akan mengambilnya dengan cara seorang raja.”
Rombongan Salatiga merasakan hawa di sekitar mereka berubah. Mereka kini bukan lagi sekadar pendatang baru. Mereka telah menjadi target. Dan di tengah ketegangan yang mulai mencekik itu, mereka hanya bisa berharap Mbarep akan segera datang.
Sementara itu, diwaktu yang sama, mereka juga tidak tahu, bahwa Mbarep yang ditunggunya telah mati.