Skip to content
Go back
Content Protected

Chapter 8 - Jalan yang terpisah

 •  7 menit waktu membaca

Chapter 8: Jalan yang terpisah

Shelter Zona 07 dipenuhi aktivitas persiapan keberangkatan menuju Semarang. Matahari mulai menunjukkan dirinya dari balik reruntuhan kota, menyinari wajah-wajah lelah para penantang yang baru saja selamat dari Menara Rengkah Jagad. Tim Mbarep berkumpul di tenda logistik, masing-masing memeriksa perlengkapan dan status window mereka yang telah berubah drastis.

Lydia berdiri di depan peta holografik yang menampilkan rute ke Semarang, jarinya menelusuri jalur tercepat. “Kalau kita berangkat sekarang, seharusnya sampai Semarang sore ini. Jaraknya sekitar 38 kilometer dari sini.”

Kirana mengangguk sambil menyesuaikan jubah taktisnya. “Sistem memberikan kita waktu 48 jam sebelum skenario kedua dimulai. Lumayan longgar untuk persiapan.”

Saat yang lain sibuk membahas rencana perjalanan, Mbarep menatap ke arah barat daya. Matanya tertuju pada arah Ambarawa, tempat di mana ia tahu terdapat sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Dalam hati, ia mengingat detail dari novel yang ia tulis—skenario tersembunyi di Rawa Pening yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memahami legenda Baru Klinting.

“Kalian pergi duluan,” kata Mbarep tiba-tiba, membuat semua pasang mata tertuju padanya.

Arya mengerutkan dahi. “Maksudmu? Kita kan sudah sepakat berangkat bareng.”

Mbarep menarik napas dalam, mempersiapkan kebohongan yang telah ia susun sejak semalam. “Aku… ada urusan di Ambarawa. Dulu, sebelum kuliah, aku sering ke sana sama keluarga. Ada makam kakek buyut yang ingin aku kunjungi dulu.”

Bima menatapnya skeptis. “Makam? Sekarang? Lah, kita lagi dalam situasi hidup-mati, Mas.”

“Justru karena itu,” Mbarep tersenyum tipis. “Setelah semua yang terjadi di menara kemarin, aku merasa… perlu minta berkah dulu. Mungkin terdengar konyol, tapi ini penting bagiku.”

Lydia menatap Mbarep dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Sebagai mantan atasannya serta rekan kerja yang sangat lama, ia mengenal betul ketika Mbarep menyembunyikan sesuatu. Namun, setelah berbelit-belit dalam pikirannya, ia memilih untuk tidak mendesak.

“Berapa lama?” tanya Lydia akhirnya.

“Maksimal satu setengah hari. Aku janji, dan pastikan akan menyusul kalian sebelum skenario dimulai.”

Kirana melipat tangannya. “Mbarep, kita tim. Bukannya lebih baik kalau kita tetap bersama?”

Raditya menimpali dengan nada khawatir, “Mas, gimana kalau ada bahaya di jalan? Sendirian kan risikonya lebih besar.”

Mbarep menatap satu per satu wajah kawan-kawannya. Rasa bersalah menggigit hatinya, namun ia tahu bahwa hidden scenario di Rawa Pening memang dirancang untuk dilakukan sendirian. Dalam novel yang ia tulis, persyaratannya jelas: “Hanya bisa dilakukan seorang diri.”

“Dengar,” Mbarep berkata dengan nada yang lebih serius. “Aku paham kekhawatiran kalian. Tapi ada… perasaan yang kuat yang menarikku ke Ambarawa. Mungkin ini ada hubungannya dengan konstelasi yang baru saja mengkontrakku kemarin.”

Ia mengangkat tangan ketika melihat ekspresi skeptis di wajah mereka. “Aku tahu kedengarnya mengada-ada. Tapi sejak kontrak konstelasi itu, kadang aku merasa ada ‘bisikan’ atau intuisi yang mengarahkanku ke tempat tertentu. Dan sekarang, arahnya ke Ambarawa.”

Konstelasi [#!%26@&912!] kaget dengan omong kosongmu—tidak yakin apakah harus tersinggung atau justru terhibur oleh alasanmu yang mengada-ada.
Konstelasi ‘Penguasa Arus dari Sungai Maut’ tertawa dengan alasanmu.
Konstelasi ‘Ratu Hukum Tanah Jawa’ membenci seorang pembohong sepertimu.
Konstelasi ‘Patih Pemersatu Nusantara’ melihatmu dengan serius.

Mbarep tersentak kecil, tak menyangka konstelasi itu merespons hal seperti ini. Sejenak ia membeku, kaget karena sosok yang sejak awal diam seperti bayangan bagaimanapun ia menanyainya, kini menunjukkan tanda-tanda kehadiran. Rasanya seperti seseorang yang tiba-tiba membalas gumaman pribadimu—mengagetkan, tapi juga membuktikan bahwa ia memang mendengarkan sejak awal.

Arya dan Bima saling bertukar pandang. Sebagai praktisi bela diri, mereka tidak asing dengan konsep intuisi atau panggilan spiritual.

“Kalau memang begitu…” Arya menghela napas. “Tapi janji ya, kalau ada masalah, langsung kabur. Jangan maksain.”

Mbarep menjawab dengan kemantapan. “Tentu, aku juga titip kalian untuk bantu jaga yang lain ya.”

Lydia mendekati Mbarep, menatapnya lekat-lekat. “Mbarep, aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu rencanakan. Tapi… hati-hati. Kita sudah kehilangan banyak orang kemarin. Aku tidak mau kehilangan kamu juga.”

Mbarep merasakan dadanya sesak. Kebohongannya terasa semakin berat ketika melihat ketulusan kekhawatiran Lydia. “Aku janji akan berhati-hati. Dan aku janji akan kembali.”

Mereka menghabiskan satu jam berikutnya untuk membagi perbekalan. Mbarep mengambil porsi minimal—beberapa potong roti kering, botol air, dan kit pertolongan pertama sederhana. Tombak baja pendeknya ia ikat di punggung, sementara beberapa koin realitas ia sisihkan untuk kemungkinan darurat.

Saat tim mulai bersiap untuk berangkat ke Semarang, Mbarep berjalan menuju pintu keluar shelter dengan arah yang berbeda. Di gerbang, ia berbalik sejenak untuk melihat kawan-kawannya yang mulai menjauh dengan kendaraan seadanya—sepeda motor tua dan gerobak yang ditemukan disekitar shelter.

“Sampai jumpa di Semarang,” bisiknya, sebelum melangkah keluar menuju jalan yang mengarah ke Ambarawa via Muncul.

Perjalanan menuju Ambarawa memakan waktu sekitar dua jam dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan, ia melihat dampak kemunculan menara yang masih terasa—rumah-rumah retak, jalan berlubang, dan keheningan yang ada.

Sepanjang perjalanan, Mbarep sempat mencoba mengajak bicara konstelasi yang telah ia kontrak. Ia bertanya-tanya siapa sebenarnya sosok itu dan apa keuntungan yang seharusnya ia peroleh dari kontrak tersebut. Namun, tak sekalipun konstelasi itu memberi respons. Diam seperti bayangan. Bahkan jendela statusnya tak menunjukkan adanya peningkatan atau kemampuan baru yang biasanya menyertai kontrak semacam itu. Semua terasa seperti rahasia yang sengaja dibiarkan menggantung.

Ketika akhirnya tiba di pinggiran Ambarawa, Mbarep merasakan udara yang berbeda. Ada sesuatu yang ‘bergetar’ di sekelilingnya, seolah-olah udara sendiri mengandung energi spiritual yang pekat. Ia teringat pada deskripsi yang pernah ia tulis tentang area dengan konsentrasi cerita kuno yang tinggi.

Rawa Pening terhampar di hadapannya—danau seluas 2.670 hektar yang dikelilingi oleh Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Namun, pemandangan yang ia lihat berbeda dari yang ia ingat. Air danau tampak lebih gelap, berkabut tebal, dan di tengahnya—yang paling mencengangkan—terdapat sebuah pulau kecil yang sebelumnya tidak pernah ada.

Mbarep berdiri di tepi danau, memandangi fenomena aneh tersebut. Ia mengaktifkan kemampuan Pengamat Takdir, dan segera sebuah status window muncul:

[Lokasi Khusus Terdeteksi] 

Nama: Rawa Pening - Domain Spiritual Aktif 
Tingkat Bahaya: B+ 
Deskripsi: Area dengan konsentrasi cerita kuno tinggi. Pulau di tengah danau adalah manifestasi dari legenda Baru Klinting yang 'terbangun' akibat sistem menara.

Rekomendasi: Hanya bagi mereka yang benar-benar memahami kisah Baru Klinting

“Jadi benar,” gumam Mbarep. “Sistem menara tidak hanya mengaktifkan skenario, tapi juga membangkitkan legenda-legenda kuno.”

Saat ia mendekatkan tangan ke permukaan air danau, sistem memberikan notifikasi yang telah lama ia tunggu:

[Skenario Tersembunyi Terdeteksi]

Judul: "Pencarian Warisan Naga Air"
Kategori: Misi Warisan
Tingkat Kesulitan: B+
Syarat: Hanya bisa dilakukan seorang diri Batas
Waktu: 48 jam
Hadiah: ???
Hukuman Gagal: Kehilangan kemampuan berenang secara permanen, -50% daya tahan terhadap elemen air

[Hanya Konstelasi Penantang yang dapat melihat Konten Skenario ini.]

Terima tantangan? [Ya/Tidak]

Mbarep menatap pilihan tersebut. Ia tahu bahwa menerima skenario tersembunyi ini berarti mempertaruhkan nyawanya sendirian, tanpa bantuan tim. Namun, ia juga tahu bahwa hadiah yang mungkin akan ia dapatkan akan membantunya untuk menghadapi dan menyelesaikan tantangan-tantangan yang akan dihadapinya dimasa mendatang.

Konstelasi ‘Patih Pemersatu Nusantara’ memintamu mempertimbangkan ini dengan matang.
Konstelasi [#!%26@&912!] mengamati pilihanmu.

Dengan tekad bulat, ia menyentuh [Ya].

Seketika, kabut tebal mulai menyelimuti area sekitar danau. Angin bertiup kencang, dan dari dalam air muncul sosok transparan seorang wanita tua dengan pakaian tradisional Jawa.

“Siapa yang berani memasuki domain sang naga air?” suara itu bergema, bukan dari mulut sosok tersebut, tetapi langsung ke dalam pikiran Mbarep.

Mbarep menegakkan tubuhnya, mencoba mengingat detail dari legenda yang ia tulis. “Saya Mbarep Kusuma, seorang penantang yang mencari berkah dari leluhur Baru Klinting.”

Sosok wanita itu menatapnya tajam. “Aku adalah Nyi Latung, satu-satunya yang selamat dari murka Baru Klinting dahulu. Jika kau benar-benar mencari berkah sang naga air, kau harus membuktikan bahwa kau layak.”

“Apa yang harus saya lakukan?”

“Tiga ujian menanti. Ujian pertama: keberanian menghadapi ketakutan. Ujian kedua: keseimbangan dalam menguasai kekuatan. Ujian ketiga: pilihan antara kepentingan diri dan kebaikan yang lebih besar.”

Nyi Latung mengangkat tangannya, dan air danau mulai memisah, membentuk jalan setapak yang mengarah ke pulau di tengah danau.

“Ingatlah, wahai penantang. Baru Klinting tidak memberikan berkahnya dengan mudah. Ia telah kecewa pada manusia sejak dahulu. Hanya mereka yang benar-benar memahami arti tanggung jawab dan pengorbanan yang dapat menerima warisannya.”

Mbarep melangkah ke jalan setapak yang terbentuk dari air yang mengeras. Setiap langkahnya menimbulkan riak biru di permukaan, dan ia merasakan energi spiritual yang sangat kuat mengalir di sekelilingnya.

Saat ia mencapai pertengahan perjalanan menuju pulau, Nyi Latung berkata untuk yang terakhir kalinya, “Ujian pertama dimulai sekarang. Hadapi apa yang paling kau takutkan, dan buktikan bahwa kau layak melanjutkan.”

Dengan itu, sosok Nyi Latung menghilang, meninggalkan Mbarep sendirian di tengah jalan setapak yang dikelilingi oleh air gelap dan kabut tebal yang semakin menebal di sekelilingnya.


Komentar


📱

Install Aksara Karsa

Akses lebih cepat dan nikmati pengalaman membaca yang lebih baik