Chapter 7: Konstelasi Bintang
Alun-alun Salatiga diselimuti diam. Debu masih mengepul dari tanah retak, serpihan logam berserakan bersama bau hangus dan darah. Menara Rengkah Jagad berdiri membisu—raksasa yang telah kehabisan napas. Pilar-pilarnya retak, ukiran di dindingnya memudar seperti ingatan buruk yang ingin dilupakan dunia.
Dari ratusan penantang yang masuk, hanya 48 yang kembali menginjak tanah. Mereka berdiri—sebagian terjatuh, sebagian terduduk—di bawah bayang-bayang menara, dengan napas berat dan wajah penuh luka. Namun, mereka masih hidup.
Mbarep berdiri di tengah mereka, napasnya kasar, tubuhnya masih menahan pegal akibat pertempuran. Di sekitarnya, wajah-wajah yang sudah ia kenal: Kirana Maharani, kemudian Arya dan adiknya Bima yang tertawa lelah sambil memegangi perlengkapannya; Raditya yang berlutut sambil menyeka peluh dari alisnya; dan Lydia, berdiri sedikit jauh, tubuhnya gemetar pelan. Ia mendekap dirinya sendiri, kedua tangannya memegangi bahu, mencoba menahan rasa takut yang belum juga pergi.
Langit perlahan berubah. Dari kelam pekat menuju oranye pucat. Fajar memecah malam, namun justru membawa perasaan yang aneh—bukan damai, melainkan hening yang penuh tekanan.
Tiba-tiba, langit bergetar. Pusaran cahaya muncul di atas Menara Rengkah Jagad. Kabut tipis terbentuk, dan dari dalamnya melayang sosok yang tak asing lagi: seorang Juru Ghaib. Kali ini tubuhnya sedikit lebih besar, masih dengan penampilan seperti sebelumnya—kemeja putih rapi, blazer gelap, dan celana bahan hitam yang agak kebesaran—namun kini dengan tambahan syal lusuh melingkar di lehernya. Wajahnya masih muda, tapi sorot matanya mengisyaratkan umur yang tak bisa dihitung manusia.
“Selamat, para penantang,” suaranya menggema, seolah menggantikan gema lonceng yang tak pernah berdentang. “Skenario pertama telah selesai. Menara Rengkah Jagad kini non-aktif.”
Beberapa penantang menjatuhkan diri, lega. Yang lain hanya terdiam, masih tak percaya mereka selamat.
“Tugas kalian belum selesai,” lanjut Juru Ghaib. “Skenario berikutnya akan dimulai dalam waktu dekat. Lokasinya adalah Menara Candhi Waringin di wilayah Semarang.”
Suara desahan terdengar. Beberapa mengutuk pelan. Yang lain saling berpandangan. Masih ada menara lain.
Lalu, suara batu melesat memecah suasana. Sebuah batu dilempar ke arah Juru Ghaib, melewati ilusi tubuhnya dan jatuh sia-sia di tanah. Seorang penantang, wajahnya penuh amarah, berteriak:
“Kau! Karena kalian, keluargaku mati!”
Seketika, suara sunyi. Tanpa peringatan, kepala pria itu meledak. Tubuhnya jatuh, tak sempat mengucap kata terakhir. Darahnya membekas di tanah.
“Apakah ada yang ingin menyusulnya?” ujar Juru Ghaib dengan nada malas.
Tak ada yang menjawab. Diam.
“Kalian telah bertahan melewati ujian pertama dunia baru ini,” ucap Juru Ghaib, suaranya bergema tenang, namun mengandung bobot dari sesuatu yang lebih besar dari kehidupan biasa. “Sebagai pengakuan atas ketekunan dan keberanian kalian, sistem kami akan menghadiahkan akses lanjutan yang hanya diberikan kepada mereka yang lolos dari seleksi alam ini.”
Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, seolah mengangkat tabir yang tak kasatmata. Di hadapan para penantang, udara bergetar—lalu dari kekosongan itu, jendela-jendela transparan bermunculan. Cahaya biru menyala lembut dari udara kosong, menyusun barisan angka dan simbol dengan presisi seperti ukiran takdir.
“Perhatikan baik-baik. Mulai detik ini, kalian bukan lagi manusia biasa.”
Seketika, jendela-jendela transparan bermunculan di depan tiap penantang. Cahaya biru muncul dari udara kosong, membentuk status window.
Nama: Mbarep Kusuma
Level: 3
Kekuatan: 9
Ketahanan: 8
Kelincahan: 7
Kecerdasan: 11
Insting: 10
Koin Realitas: 150
Bersamaan dengan itu, sistem membagikan Koin Realitas kepada tiap penantang. Jumlahnya bervariasi.
“Apa ini?” gumam Raditya, matanya membulat saat status window di depannya menampilkan angka 100. Suaranya pelan, tercampur antara kagum dan kecewa. Ia mengangkat tangannya seolah ingin menyentuh angka itu di udara.
“Seratus koin… segini doang?” Ia menoleh ke Bima di sebelahnya, lalu kembali menatap panel di hadapannya. “Dengan koin sebanyak ini… cuma bisa beli makanan doang. Itu pun kayaknya mi instan digital,” keluhnya dengan nada cemberut, separuh bercanda, separuh putus asa. Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri, memastikan kalau ini bukan mimpi.
Mbarep hanya tersenyum simpul melihat reaksi spontan itu, sama seperti yang lainnya yang juga masih beradaptasi dengan realitas sistem yang kini nyata di hadapan mereka.
“Wah, ada fitur toko!” seru Kirana dengan mata berbinar. Ia mengangkat tangannya, dan jari telunjuknya melayang ragu sejenak sebelum akhirnya menyentuh ikon kecil berbentuk keranjang belanja di pojok kanan layar status window.
Begitu disentuh, panel baru terbuka di depannya, menampilkan deretan barang-barang dengan simbol-simbol unik dan harga koin yang bervariasi. Matanya membesar, menyapu satu per satu item yang tersedia: makanan kering, perban otomatis, pakaian pelindung, hingga opsi peningkatan atribut tubuh.
“Kita bisa beli makanan… perban… perlengkapan… dan… wah, bisa upgrade status juga!” serunya takjub, seolah menemukan harapan baru di tengah reruntuhan dunia. Wajah Kirana tampak lebih hidup dari sebelumnya—lelahnya belum hilang, tapi kini diimbangi rasa ingin tahu dan optimisme baru.
Bima tertawa sambil menunjuk ke layar status window-nya. “Akhirnya, nggak perlu makan ransum tentara lagi. Gue mau cari item keren—kayak jubah kabut naga, atau pedang api terkutuk. Mana tahu ada di toko, hahaha!”
Arya menghela napas panjang dan menepuk jidatnya, lalu melirik Bima dengan tatapan geli campur pasrah. “Aduh, Bim… kamu tuh orang Jawa, tahu. Bukannya aku anti bahasa gaul, tapi kalau ngomong ‘gue’ dan ‘gua’ terus, kesannya tuh aneh. Kamu tu medok Bim.”
Ia menggeleng pelan, lalu menyilangkan tangan. “Lagian ya, jangan-jangan kamu nanti beli item cuma karena namanya keren, bukan karena kegunaannya. Jangan tertipu penampilan, Bim. Bisa-bisa kamu beli ‘Pedang Bayangan Malam’ eh, ternyata fungsinya cuma buat motong roti.”
Lydia menimpali dengan senyum tipis, lalu menoleh ke arah Arya yang masih memasang wajah geli. Ia merapikan sedikit rambut yang tertiup angin dari wajah Arya, lalu berkata dengan nada lembut, “Adik kamu itu, Bima… lucu banget ya. Kadang gaya ngomongnya kayak tokoh anime yang kesurupan.” Senyumnya mengembang, hangat, berusaha menenangkan Arya yang tampak masih cemas setelah lelucon Bima.
“Tapi kadang orang seperti itu yang paling bisa mencairkan suasana, terutama setelah semua yang udah kita lewatin,” tambah Lydia, tatapannya penuh pengertian. Arya mengangguk perlahan, senyum tipis terbit di wajahnya.
Juru Ghaib melayang sedikit lebih rendah, suaranya kali ini terdengar seperti bisikan yang menggema dari dalam dada setiap penantang. Cahaya ungu samar menyelimuti tubuhnya saat ia mengangkat satu jari, dan layar-layar status di hadapan para penantang bergetar halus.
“Ada satu fitur tambahan yang kini aktif,” ujarnya, jeda dramatis menyusul. “Kontrak Konstelasi.”
Nada suaranya berubah, lebih berat. Udara di sekitar alun-alun menjadi lebih padat, dan langit di atas kepala mereka mulai dihiasi kilau-kilau samar, seperti permukaan danau yang bergelombang memantulkan cahaya bintang. Mata para penantang terarah padanya, terpaku antara penasaran dan waspada.
Suara mulai berbisik. Mbarep mengerutkan dahi.
“Konstelasi adalah entitas yang menyaksikan perjuangan kalian. Ada yang berasal dari masa lalu bangsa kalian. Ada pula yang dari lintas zaman. Mereka akan menawarkan kontrak. Tapi dengarkan baik-baik: kalian hanya bisa memilih satu. Dan hanya sekali seumur hidup.”
Langit bergemuruh. Di atas tiap penantang, cahaya kecil bermunculan. Mereka tampak seperti bintang jatuh yang tertahan tepat di atas kepala masing-masing.
“Bintang-bintang itu… konstelasi?” bisik Arya.
Satu suara menggema dari langit:
Konstelasi ‘Si Jantan dari Timur’ tertarik padamu.
Konstelasi ‘Sang Pangeran Jawa’ sedang mempertimbangkanmu.
Konstelasi ‘Ratu Pantai Selatan’ melirik aura-mu.
Satu per satu cahaya seperti bintang tersebut turun. Setiap penantang menerima satu atau dua cahaya bintang diatasnya. Sebagian hanya menerima satu.
Tapi Mbarep…
Dua puluh cahaya bintang muncul di atas kepalanya.
Bisik-bisik mulai terdengar.
“Lihat itu…!”
“Mbarep…”
Mata Lydia membesar. Kirana menggenggam lengan Arya erat.
Mbarep menatap ke atas, matanya menyapu perlahan satu per satu cahaya bintang yang menggantung di atas kepalanya. Setiap sinar memiliki warna yang berbeda, denyutnya khas, seakan memancarkan kepribadian dari sosok yang mewakilinya. Cahaya biru tua dari Konstelasi ‘Patih Pemersatu Nusantara’ tampak kokoh dan tegas, berpendar lambat seperti nafas dalam meditasi panjang. Kilatan perak dari ‘Sang Penjinak Petir’ bergetar cepat, memancarkan sensasi seperti guntur yang tertahan.
Konstelasi ‘Patih Pemersatu Nusantara’ tertarik padamu.
Konstelasi ‘Sang Penjinak Petir’ sedang menguji tekadmu.
Ada juga aura hijau kelam yang menyelubungi Konstelasi ‘Penguasa Arus dari Sungai Maut’, membuat bulu kuduk Mbarep meremang, seolah dari cahaya itu keluar kabut sungai yang beraroma tanah basah. Dan cahaya keemasan lembut dari ‘Ratu Hukum Tanah Jawa’ terasa anggun namun tak bisa disangkal—memancarkan wibawa yang menekan tanpa kekerasan.
Konstelasi ‘Penguasa Arus dari Sungai Maut’ sedang melihat keberuntunganmu.
Konstelasi ‘Ratu Hukum Tanah Jawa’ mencermati langkahmu.
Di antara semuanya, satu cahaya berdetak tidak wajar. Ungu pekat, nyaris hitam. Cahayanya tidak bersinar, melainkan menyerap cahaya lain di sekitarnya. Ia berdenyut pelan, hidup, seolah bernapas. Nama konstelasi itu… bukan huruf, bukan angka—hanya fragmen simbol rusak. Tapi Mbarep merasakan sesuatu yang familiar, seolah itu adalah entitas yang pernah ia ciptakan, atau mungkin… pernah mengamatinya.
Konstelasi [#!%26@&912!] sedang mengawasimu.
Tubuh Mbarep menegang. Suara itu tidak hanya menggema, tapi meresap. Seperti suara yang sudah pernah ia dengar, entah dalam mimpi atau masa lalu.
“Pilihan kalian berakhir dalam lima belas menit,” ujar Juru Ghaib, kali ini dengan nada yang terdengar lebih serius, bahkan nyaris menyerupai ancaman yang dibungkus senyum. “Jika kalian gagal memilih dalam batas waktu itu… maka kesempatan ini akan lenyap. Dan kami tidak bisa menjamin apakah takdir akan memberimu kesempatan kedua.”
Ia mengangkat tangannya, dan panel waktu mundur muncul di atas setiap kepala: [14:59] … [14:58] …
“Bagi yang sudah memilih,” lanjutnya, tatapannya menyapu seluruh alun-alun, “kontrak bersifat mutlak. Kalian tidak akan bisa mengubah pilihan kalian sampai kematian datang menjemput. Jadi… pilihlah dengan bijak. Karena setelah itu, kalian adalah milik mereka.”
Bima menelan ludah, matanya masih terpaku pada deretan bintang di atas kepala Mbarep. Suaranya gemetar, mencoba terdengar santai tapi penuh ketakutan. “Gila… ini kayak gacha satu kali seumur hidup, tapi tanpa banner, tanpa deskripsi, dan tanpa jaminan SSR. Dan parahnya…”
Ia melirik ke atas, memperhatikan nama-nama konstelasi yang terdengar asing namun agung. “…gue bahkan nggak tau mereka siapa! Serius, ini kayak dipaksa milih jodoh dari barisan arwah masa lalu.”
Arya melangkah pelan mendekat, lalu menepuk bahu Mbarep dengan pelan, wajahnya masih menampakkan sisa rasa tak percaya. “Kamu pasti bingung, ya. Dua puluh bintang di atas kepala? Gila, itu luar biasa banget. Aku aja cuma satu, itu pun… katanya dari ‘Raja Pembebas Tanah Leluhur’.”
Mbarep menatap ke atas, pandangannya terpaku pada dua puluh cahaya bintang yang berputar perlahan seperti satelit pribadi di atas kepalanya. Meski tubuhnya masih lelah, jiwanya justru dihimpit oleh rasa tanggung jawab yang kian berat. Cahaya-cahaya itu tidak memberikan rasa hangat atau dingin, namun menghadirkan tekanan tak kasatmata, seolah ia kini berada di bawah sorotan para dewa dari langit yang jauh lebih tinggi dari menara mana pun.
“Patih Pemersatu Nusantara,” gumamnya pelan, matanya memantulkan sinar biru tua yang lembut namun kokoh, “tidak mungkin bukan Gajah Mada…”
Ia berpindah ke kilatan perak di sebelahnya. “Sang Penjinak Petir… pasti Ki Ageng Selo.”
Saat matanya menangkap gelombang hijau gelap yang seolah menyelimuti udara, ia bergumam, “Penguasa Arus dari Sungai Maut… Joko Tingkir.”
Dan sinar keemasan yang anggun itu tak salah lagi, “Ratu Hukum Tanah Jawa… hanya bisa Ratu Shima.”
Satu per satu, ia menyebutkan nama dari sosok-sosok yang ia kenal melalui buku sejarah dan riset arkeologi yang dulu pernah ia tekuni, mencoba mengaitkan simbol, warna, dan nuansa dari setiap cahaya. Dalam diam, ia menafsirkan sembilan belas cahaya. Tapi saat matanya menatap ke cahaya terakhir—yang ungu pekat, gelap seperti arang basah dan berdenyut perlahan seperti nadi dari dunia lain—ia terdiam.
Teks namanya bukan tulisan, melainkan kombinasi simbol aneh dan terdistorsi: [#!%26@&912!]. Setiap kali ia menatapnya terlalu lama, kepalanya terasa berat, seolah pikirannya tersedot ke dalam pusaran tak dikenal.
“Aku… sama sekali tidak tahu siapa kamu…” bisiknya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sebagai penulis yang tidak tahu arah ceritanya sendiri.
Konstelasi [#!%26@&912!] tersenyum menatapmu.
Langit mulai cerah, semburat oranye merayap perlahan dari timur. Suasana yang semula dipenuhi keheningan dan tekanan mulai berganti dengan gumaman antusias dan sorakan kecil. Satu per satu teman-teman Mbarep mulai memilih konstelasi yang menawarkan kontrak pada mereka.
Bima adalah yang paling berisik. Dengan tangan terkepal dan senyum lebar, ia menunjuk cahaya biru menyala di atas kepalanya. “Aku dapet ‘Penjaga Gerbang Api Nusantara’! Lihat! Stigmanya bikin pertahananku naik, dan seranganku bisa ngeluarin efek ledakan kalau pasrah mental! Wah gila ini, aku resmi jadi tokoh utama!”
Arya memilih lebih tenang. Ia berdiri dengan tatapan mantap ke arah cahaya konstelasi tunggal di atasnya—cahaya hijau zamrud yang berpendar tenang namun kokoh. “‘Raja Pembebas Tanah Leluhur’,” bisiknya, mengingat satu-satunya konstelasi yang datang padanya sejak awal. Begitu kontrak disahkan, panel sistem menampilkan peningkatan kelincahan dan kemampuan bertahan dan berfikir tenang apapun keadaanya.
Raditya sempat ragu, namun akhirnya memilih konstelasi berwarna tanah dengan aura berat dan stabil. Nama yang tertera: ‘Lelaki Berbalut Baja dari Timur’. Stigmanya memperkuat daya tahan tubuh dan refleks. “Akhirnya aku bisa bertahan lebih lama dalam pertempuran,” gumamnya, matanya berkaca-kaca.
Kirana tampak paling berhati-hati. Ia menunggu hingga menit keempat sebelum akhirnya menyentuh cahaya putih keperakan yang tampak lebih kecil dari yang lain. Konstelasinya: ‘Putri Cermin Sejati’. Setelah kontrak selesai, layar menampilkan kemampuan pasif baru bernama Refleksi Strategis, yang memperkuat efek analisis serta kemampuan adaptasi terhadap situasi mendesak. “Ini… cocok untukku,” ujarnya lirih, matanya tajam menatap ke depan.
Lydia adalah yang terakhir dari kelompok mereka. Ia berdiri diam, menatap cahaya lembayung keemasan yang berputar perlahan di atas kepalanya. Cahaya itu berbeda dari yang lain—tidak berkilau mencolok, tapi tenang, mengalun seperti mantra kuno yang dinyanyikan oleh para pendeta. Udara di sekitarnya bergetar pelan, membawa aroma kemenyan dan desir angin pegunungan.
Nama konstelasinya muncul perlahan: ‘Penjaga Cahaya Kahyangan’. Sebuah entitas tingkat tinggi, dipercaya dalam mitologi kuno sebagai penjaga antara dunia manusia dan alam para dewata.
Lydia menutup mata dan mengangkat tangan, membiarkan cahaya itu menempel di dadanya. Tubuhnya berpendar lembut, dan panel sistem menampilkan kemampuan unik: Layakrana Suci — mantra dukungan yang memperkuat status rekan tim di sekitarnya selama 30 detik, meningkatkan regenerasi dan pertahanan.
Matanya terbuka perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya. Bukan senyum puas, tapi keyakinan. “Kalau ini adalah jalanku, maka aku akan jadi cahaya untuk semua yang berjuang.”
Sementara yang lain bersorak, tertawa, dan memeriksa kemampuan baru mereka, Mbarep hanya berdiri diam. Cahaya ungu pekat itu masih berdenyut di atas kepalanya. Ia menatapnya lama, menimbang, memikirkan, mencoba mengingat apakah dalam novelnya ia pernah membuat makhluk sehebat itu. Tapi tak ada satu pun fragmen memori yang menjelaskan simbol rusak itu.
Saat ia sadar kembali, waktu di atas kepalanya sudah menunjukkan [00:00]. Panel menghilang. Pilihan telah ditetapkan.
Konstelasi [#!%26@&912!] menerima keheninganmu sebagai jawaban. Kontrak disahkan.
Setelah hitungan waktu mencapai nol, langit bergemuruh pelan. Juru Ghaib melayang naik lebih tinggi, lalu membentangkan kedua tangannya ke samping. Di belakangnya, sebuah panel raksasa muncul menampilkan lokasi baru: Menara Candhi Waringin – Zona 02: Semarang.
“Para penantang yang telah menyelesaikan kontrak konstelasi, dengarkan baik-baik,” ucapnya dengan nada datar namun penuh tekanan. “Skenario kedua akan dimulai dalam waktu 48 jam dari sekarang. Lokasi telah ditentukan. Hanya mereka yang hadir di titik awal skenario sebelum waktu yang ditentukan… yang akan diizinkan ikut serta.”
Hening kembali menyelimuti alun-alun. Beberapa penantang menelan ludah, yang lain saling memandang khawatir.
“Dan bagi yang tidak datang tepat waktu,” lanjut Juru Ghaib, suaranya berubah dingin, “…akan dianggap gugur dalam sistem Skema Realita. Tubuh kalian akan dihapus dari eksistensi, dan nama kalian tidak akan dicatat dalam sejarah dunia baru.”
Tiba-tiba angin berhembus deras, dan Juru Ghaib mulai memudar perlahan.
“Persiapkan diri kalian. Langkah ini hanya permulaan. Kalian telah menulis awal cerita kalian. Tapi akhir takdir… belum ditentukan.”
Lalu tubuhnya menghilang dalam pusaran kabut ungu, meninggalkan para penantang yang kini terdiam. Mbarep menatap langit, cahaya ungu pekat konstelasinya masih berdenyut diam. Ia mengepalkan tangan.
“[#!%26@&912!]… siapa kamu sebenarnya?” bisiknya, sebelum cahaya itu tiba-tiba menyusut hilang, konstelasi tersebut sama sekali tidak menanggapi Mbarep.