Bab 6: Sang Tuyul Penjaga
Panggung kayu itu mengeluarkan suara derit menyakitkan saat papan-papannya terangkat oleh kekuatan yang tak kasatmata. Dari celah lantainya, muncul makhluk yang ukurannya dua kali manusia dewasa—berkulit gelap, punggung bungkuk, dan wajah seperti gabungan tuyul dan topeng kayu ukiran. Matanya merah menyala, dan tiap geraknya meninggalkan suara gemeretak seperti bambu dibakar.
[Makhluk Ilusi – Tuyul Penjaga]
Kelas: Menengah Rendah
Penjaga Token Gerbang
Efek Aura: Ketakutan Minor, Gangguan Mental Ringan
Aura makhluk itu menyapu pasar. Beberapa penantang yang berada terlalu dekat langsung gemetar hebat, bahkan ada yang jatuh terduduk dan tidak bisa bergerak.
“Jangan liatin matanya!” teriak Arya.
Tim Mbarep langsung membentuk formasi defensif. Bima mundur sedikit, rahangnya tegang. “Kita beneran harus lawan itu?”
“Kalau kita nggak lawan dia, kita semua juga bakal mati di sini,” ujar Kirana. “Waktu terus berjalan.”
Mbarep maju satu langkah, memutar tombaknya dan menatap kawan-kawannya. “Formasi segitiga depan. Aku di depan, Arya bantu sisi kiri. Bima, cari celah dari belakang. Kirana dan Radit, pantau area dan beri aba-aba. Lydia, tetap di belakang dan bantu koordinasi serangan.”
Lydia mengangguk cepat. “Siap. Aku cover dari belakang.”
Sementara itu, pasar di sekitar mereka semakin kacau. Di kejauhan, beberapa penantang tampak masih berlarian panik, diserang oleh tuyul-tuyul kecil. Sebagian lain mulai bisa melawan balik—seorang remaja dengan kemampuan fisik mencolok berhasil melempar tuyul ke tembok, sementara seorang ibu muda menggunakan pisau dapur untuk menusuk makhluk itu berkali-kali.
Namun banyak juga yang tumbang. Jeritan masih terdengar, meski makin lama makin jarang. Jumlah penantang mulai menipis.
Tuyul Penjaga mengangkat tangan kirinya. Kabut hitam mengumpul membentuk tombak gelap yang langsung dilempar ke arah mereka. Mbarep menarik Kirana mundur dan tombak itu menancap ke tanah, membakar kayu di sekitarnya.
“Serang sekarang!” seru Mbarep, suaranya mantap membelah udara penuh tekanan.
Arya melesat lebih dulu, menendang kaki makhluk itu agar kehilangan keseimbangan. Bima menyusul dengan pukulan bersarung tangan, menghantam rusuknya. Tuyul Penjaga meraung, lalu menyapu udara dengan cakarnya.
Cakar itu nyaris mengenai Raditya yang terlalu dekat, tapi Kirana menariknya mundur dengan paksa.
“Fokus! Jangan berdiri di tempat!” serunya.
Mbarep melihat celah. Ia mengayunkan tombaknya ke sisi tubuh makhluk itu, menyebabkan luka kecil. Tapi dari luka itu keluar kabut hitam, seperti asap beracun.
“Jangan hirup kabutnya! Itu racun halus!” seru Kirana tiba-tiba.
Semua menoleh. Kirana sendiri tampak terkejut dengan ucapannya, seolah kata-kata itu meluncur tanpa ia sadari. Matanya membelalak, seolah mendeteksi pola dalam kabut.
“Aku… aku nggak tahu kenapa, tapi aku yakin! Kabut itu ganggu sistem saraf. Mundur habis serang!” ucapnya lagi, kali ini dengan keyakinan yang lebih kuat.
Mbarep sempat melirik Kirana, dan saat melihat ekspresi bingung sekaligus yakin di wajahnya, ia tersadar: bakat pasif perempuan itu mungkin baru saja aktif.
Kilasan masa lalu melintas cepat di kepala Kirana—dulu saat bekerja sebagai analis data pemda, ia kerap menemukan kejanggalan dalam pola laporan keuangan, bahkan sebelum data selesai diproses. Nalurinya tajam, tidak berdasarkan perasaan, tapi logika yang belum sempat dibungkus teori. Banyak koleganya menyebutnya punya “indra keenam” dalam melihat pola.
Sekarang, di tengah medan pertarungan ini, bakat itu bangkit kembali, namun dalam bentuk yang lebih nyata dan terfokus. Kirana tidak sekadar menebak: ia tahu kabut itu berbahaya karena pola pergerakan partikel dan reaksi tubuh di sekitarnya menyusun satu gambaran jelas di pikirannya.
“Analisis Struktural,” gumam Mbarep dalam hati. “Itu bakatnya. Dan itu baru saja menyelamatkan kami.”
Pertarungan berlangsung intens. Tuyul Penjaga tidak secepat tuyul biasa, tapi kekuatannya jauh di atas. Serangan acak bisa mematahkan senjata murahan, dan geraknya kadang tidak bisa diprediksi.
Tiga menit berlalu. Nafas mereka mulai berat.
“Sekarang!” seru Mbarep.
Arya dan Bima langsung merespons, menyerang dari dua sisi bersamaan. Arya menendang lutut makhluk itu dari kiri sementara Bima menghantam rusuknya dari kanan. Tubuh Tuyul Penjaga oleng, dan pada saat itulah Raditya maju dengan keberanian yang terkumpul dari detik-detik terakhir.
Dengan tombak lama Mbarep di tangannya, ia menusuk lurus ke dada makhluk itu. Ujung tombak menembus, menghentak tubuh besar itu ke belakang.
Tombaknya menembus, dan tubuh besar itu terhuyung.
[Makhluk Ilusi – Tuyul Penjaga telah dikalahkan]
Dari tubuh Tuyul Penjaga yang hancur menjadi abu, sebuah token berbentuk koin besar berkilau jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu, lantai pasar di dekat mereka bergetar pelan dan sebuah peti kayu tua muncul perlahan dari dalam lantai, seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat.
[Token Gerbang telah ditemukan. Sisa waktu: 04 menit 38 detik]
[Peti Hadiah Skenario I – Didapatkan]
Ketika peti terbuka dengan suara berderit, cahaya lembut terpancar dari dalamnya. Di dalamnya tersusun berbagai perlengkapan dan perbekalan: dua botol kecil berisi cairan merah yang langsung dikenali sebagai potion penyembuh instan, tiga senjata baru berlevel dasar namun lebih baik dari senjata darurat mereka sebelumnya, serta beberapa potong perlengkapan pelindung tambahan—sarung tangan kulit, sepasang pelindung kaki, dan sebuah sabuk bertanda ukiran kuno.
Mereka saling pandang. Perlengkapan ini bisa jadi pembeda besar di lantai berikutnya.
Raditya memungut koin tersebut, dan sistem langsung bereaksi:
[Objektif Utama Tercapai. Penantang aktif akan dikembalikan ke dunia asal dalam 3 menit.]
Dari ratusan penantang yang awalnya dipindahkan ke pasar ilusi ini, kini hanya tersisa puluhan. Mereka mulai mendekat ke pusat arena, beberapa dengan tubuh berlumur darah, pakaian koyak, dan napas terengah. Ada yang dipapah oleh rekannya, ada pula yang berjalan tertatih-tatih sendirian. Meski terluka dan kelelahan, tatapan mereka menyiratkan tekad—mereka telah bertahan dari ujian pertama menara ini, dan itu berarti sesuatu.
Mbarep dengan sigap mendekati isi peti, lalu menoleh ke Lydia dan Kirana. “Kita bagi ini secepat mungkin. Kita butuh efisiensi, bukan kesetaraan. Siapa yang paling cocok, dia yang pakai.”
Lydia dan Kirana mengangguk. Bersama-sama, mereka memeriksa item satu per satu sambil status window dari sistem mengidentifikasi tiap barang:
[Obat Pemulih Instan – x2]
Efek: Memulihkan 40% stamina dan luka ringan. Waktu pakai: Seketika.
[Tombak Baja Ringan – Kekuatan +3, Ketangkasan +1]
Tingkat: Dasar. Cocok untuk pengguna dengan akurasi tinggi.
[Pelindung Kaki Taktis – Kelincahan +2, Pertahanan +1]
Sepatu pelindung berdesain ringan untuk pertarungan jarak dekat.
[Sarung Tangan Kulit Tersulam – Kekuatan +1, Ketangkasan +2]
Cocok untuk petarung dengan gaya agresif.
[Sabuk Penyeimbang Badan – Ketangkasan +2, Kelincahan +1]
Sabuk berbahan serat kasar dengan ukiran khas wilayah timur Jawa.
“Obat untuk Lydia dan Raditya. Kalian kelihatan paling cedera,” ujar Kirana cepat.
“Tombaknya buat Lydia, dia bisa memakai tombak juga. Aku tetap pakai punyaku,” kata Mbarep.
“Sepatu untuk Arya. Dia Tahan Badan dan butuh mobilitas tinggi,” tambah Bima.
“Sarung tangan? Aku bisa pakai,” tawar Bima. “Gaya gelutku butuh cengkeram.”
“Sabuknya cocok buat Radit. Dia masih sering ragu untuk maju, status peningkatan sabuk tersebut aku rasa cocok buat dia.” ujar Lydia pelan.
Masing-masing menerima itemnya dan sistem langsung mencatat peningkatan kemampuan. Tidak butuh waktu lama, efeknya terasa secara fisik: langkah Arya lebih ringan, Bima lebih presisi, dan Raditya tampak lebih mantap.
[Sisa waktu sebelum keluar dari Menara: 02 menit 12 detik]
Bima meloncat kecil sambil mengepalkan tangan ke udara, wajahnya bersinar penuh kemenangan. Ia berputar satu kali, lalu menjatuhkan diri ke lantai dengan dramatis, bersujud ke arah token yang berkilau.
“Akhirnya! Tim Shadow Reaper of The Crimson Dawn mengalahkan bos!” teriaknya, suaranya menggema sampai ke gerobak paling ujung.
Arya menggeleng pelan, menepuk dahinya. “Astaga, Bim… bisa nggak sih sekali aja kamu nggak lebay…”
“Hei, ini momen historis!” balas Bima dengan tangan terangkat, seolah menyambut tepuk tangan yang tak pernah datang. “Sejarah akan mencatat!”
Kemudian, status window baru muncul satu per satu di depan anggota tim Mbarep—terapung di udara, masing-masing pribadi namun dengan isi yang hampir serupa. Cahaya tipis berpendar dari panel transparan itu, menandai dimulainya sesuatu yang baru:
[Konstelasi ‘Penguasa Arus dari Sungai Maut’ tertarik pada aksimu.]
[Konstelasi ‘Si Ayam Jantan dari Timur’ memperhatikan strategi timmu.]
[Konstelasi ‘Patih Pemersatu Tanah Jawa’ sedang menyaksikanmu dengan penuh minat.]
[Konstelasi ‘Ratu Pantai Selatan’ menyumbangkan 300 koin Realita.]
Setiap panel memancarkan kilau tipis, membawa pesan dari entitas-entitas tak dikenal yang menyaksikan dari balik tirai realita.
Konstelasi—makhluk supranatural, dewa lama, pahlawan yang dilupakan sejarah—satu per satu mulai menunjukkan minat mereka. Ada yang mengirimkan tatapan pengamat, ada yang menyumbang koin, dan ada pula yang hanya memperhatikan dalam diam. Mereka berasal dari berbagai penjuru kisah lama nusantara: penjaga gunung, pelindung tanah, roh petarung, bahkan sisa-sisa ketokohan masa lampau yang kini bersemayam di balik sistem.
Perhatian mereka bukan sekadar pujian. Itu adalah seleksi awal—pertaruhan besar bahwa para penantang ini pantas menjadi avatar dari legenda yang ingin bangkit kembali.
Dan di layar Mbarep, satu notifikasi tambahan muncul:
[Konstelasi ‘#!%26@&912!’ sedang mengawasi Takdirmu.]
Ia menatap jendela itu lama, tak memahami.
[Sisa waktu sebelum keluar dari Menara: 10 detik]
Seluruh sistem inisiasi pemulangan telah aktif. Penantang akan dikembalikan ke dunia asal.
Menara Rengkah Jagad* dinyatakan telah terselesaikan.
Countdown telah berakhir.
Cahaya biru lembut mulai membungkus tubuh mereka satu per satu, dimulai dari telapak kaki hingga ke puncak kepala. Udara di sekeliling bergetar pelan, dan pasar tanpa waktu itu seakan memudar perlahan seperti lukisan yang terkena hujan.
Suara sistem terdengar jelas di dalam kepala masing-masing:
[Menara Rengkah Jagad telah diselesaikan. Selamat kepada seluruh penantang yang selamat. Anda akan dikembalikan ke dunia asal untuk menantikan skenario berikutnya.]
Dalam sekejap, dunia mengabur. Tubuh mereka terangkat tanpa bobot, lalu jatuh kembali seperti kabut yang mengendap.
Saat mereka membuka mata, cahaya fajar telah menyapu langit. Mbarep berdiri mematung di tengah alun-alun Salatiga, tepat di kaki menara Rengkah Jagad yang kini tampak lebih redup, tidak lagi berpendar seperti sebelumnya.
Di sekelilingnya, para penantang lainnya juga muncul satu per satu, tubuh mereka goyah, sebagian duduk di trotoar, lainnya terduduk kelelahan di atas rumput. Suasana penuh keheningan sesaat, seolah dunia baru saja menarik napas panjang.
Menara itu masih berdiri. Menjulang diam, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Namun mereka tahu—di dalamnya, mereka baru saja melewati sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi buruk.
“Kita kembali…” gumam Raditya.
Dan pada momen itu, dunia yang dulu mereka kenal… sudah tidak pernah sama lagi.