Skip to content
Go back
Content Protected

Chapter 3 - Panggilan Menara Rengkah Jagad (I)

 •  10 menit waktu membaca

Chapter 3: Panggilan Menara Rengkah Jagad

Enam jam sebelum Skenario Pertama dimulai.

Langit di atas Salatiga sudah tak lagi bergemuruh, tapi masih menyisakan warna ungu yang membuat suasana terasa aneh dan belum tenang. Di Shelter Zona 07, suasana sangat sibuk—relawan, penantang, dan warga sipil mondar-mandir mempersiapkan diri menghadapi Skenario Pertama. Banyak dari mereka terlihat kebingungan, belum sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi dan seperti apa nasib mereka nanti.

Mbarep duduk di meja lipat dekat dinding aula utama. Di hadapannya, sebuah peta holografik menampilkan denah kota dan radius pengaruh tower. Menara itu menjulang di bekas kompleks Taman Kota Salatiga—diubah total oleh sistem menjadi struktur raksasa berkilap perunggu dan hitam, penuh ukiran kuno, menjulang lebih dari 300 meter, menusuk awan.

Nama menara itu: Menara Rengkah Jagad.

“Kayak aku pernah nulis nama itu…” gumamnya.

Saat itu, salah satu Juru Ghaib muncul di hadapannya. Penampilan mereka tampak rapi tapi aneh. Mereka mengenakan kemeja putih yang disetrika rapi, dasi, dan blazer hitam, seperti pegawai kantor elite. Celana bahan hitam mereka terlihat sedikit kebesaran, dan sepatu pantofel hitam mengilap seolah baru dipoles. Namun, yang membuat mereka berbeda adalah tanduk kecil seperti tanduk kambing yang tumbuh di kepala, serta sepasang sayap mungil di punggung mereka—terlihat aneh, tapi nyata. Di leher mereka tergantung lanyard bertuliskan: Divisi Pengelola Skema Realita – Juru Ghaib.

“Penantang Mbarep Kusuma. Anda telah terdaftar dalam daftar aktif. Data penantang Anda telah tersinkronisasi dengan sistem Skema Realita. Anda dapat memverifikasi informasi pribadi dan kemampuan melalui jendela status masing-masing. Mohon persiapkan diri sebelum hitung mundur dimulai.”

Tanpa menunggu jawaban, Juru Ghaib menghilang dalam sekejap. Mbarep terdiam beberapa detik, memproses informasi yang baru saja ia terima. Ia menatap udara kosong di hadapannya, lalu secara refleks mencoba memunculkan jendela status, penasaran dengan data yang disebut telah tersinkronisasi.

Secara otomatis, sebuah antarmuka muncul di hadapan Mbarep: jendela status-nya terbuka dengan bingkai transparan dan teks yang bersinar biru pucat. Di bagian atas, terpampang informasi sistem:

Skenario Aktif: Skenario I – Pasar Tanpa Waktu

Zona: 07 – Salatiga

Jumlah Penantang Aktif: 412 orang

Countdown ke Skenario: 1 Jam 39 menit 13 detik

Mbarep menatap angka itu dalam diam. Lebih dari empat ratus jiwa dari satu kota kecil seperti Salatiga. Itu bukan hanya para petarung, tapi juga guru, mahasiswa, pedagang, ibu rumah tangga—semua manusia yang kini dipaksa masuk ke dunia yang tidak mereka pilih.

Tiga jam sebelum Skenario dimulai.

Mbarep berdiri di area logistik barat, di antara tumpukan peti logistik berisi peralatan darurat, dan deretan relawan yang menyiapkan makanan cepat saji dari bahan ransum seadanya. Belum ada fasilitas senjata dari sistem untuk skenario pertama ini. Penantang harus mencari, membuat, atau memodifikasi alat bertahan sendiri dari barang-barang yang tersedia.

Karena ia adalah penulis cerita ini, Mbarep tahu bahwa Skenario Pertama seharusnya melibatkan perburuan makhluk ilusi—sejenis goblin, tapi dalam versinya ia menyebutnya sebagai ‘tuyul’. Makhluk kecil, cepat, dan suka mencuri sesuatu yang penting dari penantang.

Ia menatap jendela status-nya, mencoba mengingat apa yang bisa ia lakukan. Pengamat Takdir bukanlah kemampuan ofensif. Ia butuh senjata. Dan ia tahu, setidaknya dalam novel yang ia tulis, karakter utama memilih tombak—sebuah senjata dengan jangkauan dan fleksibilitas.

Untungnya, ia pernah mengikuti ekskul wushu saat SMA hingga awal kuliah. Ia tak asing dengan teknik dasar tombak.

Ia menyusuri area penyimpanan dan menemukan semacam tombak logam berujung runcing dengan gagang kayu sintetis. Saat tangannya menyentuh senjata itu, sebuah status window baru muncul di udara:

[Item Terdeteksi]

Nama: Tombak Latihan Besi-Kayu

Tipe: Senjata

Kondisi: 78/100 (Rentan patah jika digunakan terus-menerus)

Deskripsi: Tombak buatan lokal yang biasanya digunakan untuk latihan seni bela diri. Tidak didesain untuk pertempuran, namun masih dapat melukai makhluk tingkat rendah.

Status: Kekuatan +1

Mbarep mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. Meski tidak sempurna, ini lebih baik daripada tangan kosong. Ia mengikatkan tombak itu ke punggungnya dengan potongan sabuk, lalu kembali ke barak untuk mencari sosok-sosok yang tampaknya bisa diajak kerja sama.

Mbarep berdiri sejenak di dekat dinding barak, mengamati keramaian penantang yang bersiap. Tidak ada daftar, tidak ada sistem pembentukan tim. Tapi ia tahu, dalam cerita yang ia tulis, bertarung sendirian di lantai awal adalah jalan cepat menuju kematian. Menara ini tidak memberi ampun.

Ia mengingat dengan jelas: membentuk kerja sama sedini mungkin akan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Meski tidak ada jaminan kesetiaan atau kepercayaan, ia harus mencoba. Jika ingin menyelesaikan menara dan membawa dunia kembali, ia tak bisa jalan sendiri.

Yang pertama ia temui adalah Raditya Mahadewa Nugroho—remaja SMA berambut gondrong dan sorot mata tegang. Sebelum menyapanya, Mbarep mengaktifkan kemampuan uniknya secara naluriah.

> Nama: Raditya Mahadewa Nugroho
> Umur: 17 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Adaptasi Super
> Deskripsi: Sejak kecil, Raditya hidup di lingkungan keluarga yang keras dan penuh kekerasan. Kondisi itu tanpa disadari membuat tubuhnya terbiasa merespons bahaya secara cepat. Bakat ini memungkinkan dia menghindar atau bereaksi terhadap serangan mendadak secara naluriah, bahkan sebelum pikirannya sempat memproses. Meski tidak membuatnya tak terkalahkan, refleks ini cukup sering menyelamatkannya dari situasi genting.

Mbarep mengamati remaja itu dari kejauhan. Sorot matanya gelisah, tapi tubuhnya berdiri kaku seperti siap lari kapan saja. ‘Kelihatannya dia belum punya siapa-siapa,’ pikir Mbarep. ‘Kalau aku bisa ajak dia, mungkin setidaknya satu nyawa bisa terselamatkan. Lagipula, dia punya bakat adaptasi—meski mungkin dia belum mengetahuinya, itu tetap berguna.’

Ia menarik napas pelan, lalu melangkah mendekat. “Hei,” sapa Mbarep. Raditya menoleh dengan canggung. Setelah sedikit berbasa - basi, menanyakan kabar dan dari mana asalnya, lalu menyampaikan bahwa ia berencana membentuk tim kecil agar bisa saling bantu saat skenario dimulai, Mbarep mengamati reaksinya.

Raditya tampak ragu, menimbang, lalu akhirnya mengangguk pelan.

“Kalau bisa bareng, ya ayo mas. Aku juga takut dan bingung sendiri.”

Yang kedua yang menarik perhatian Mbarep adalah seorang perempuan usia 30-an yang berdiri tenang di dekat rak distribusi peta logistik. Ia mengenakan kemeja putih rapi dan blazer hitam panjang. Rambutnya pendek, panjangnya sebahu, dan ia memakai kacamata. Tatapannya tajam tapi tidak tergesa-gesa. Di sekelilingnya, orang-orang mondar-mandir panik, tapi perempuan ini tampak seperti poros yang tidak ikut berputar.

Mbarep mengamati cara ia mencatat sesuatu di buku kecil dengan efisien, sesekali berdiskusi pendek dengan relawan lain. ‘Bukan tipe yang suka basa-basi,’ pikirnya. Tapi dalam cerita yang ia tulis, tipe seperti inilah yang sering kali bertahan paling lama—dingin, terukur, dan tahu kapan harus bergerak.

Sebelum mendekat, Mbarep mengaktifkan kemampuan Pengamat Takdir secara naluriah. Sebuah status window muncul di udara, memperlihatkan detail dari perempuan itu:

> Nama: Kirana Maharani
> Umur: 31 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Analisis Struktural
> Deskripsi: Mantan analis data yang terbiasa bekerja dengan pola-pola kompleks. Mampu mengidentifikasi anomali dalam sistem dan memproses informasi secara cepat, namun cenderung sulit percaya pada orang baru.

Menarik, pikir Mbarep. Ia bisa jadi otak strategi tim.

Baru setelah itu, ia mendekat dengan langkah santai, lalu berdiri dengan sopan di sisi rak logistik tempat perempuan itu mencatat. “Permisi… saya Mbarep. Saya sedang coba membentuk kerja sama untuk skenario nanti,” ucapnya pelan tapi jelas.

Perempuan itu berhenti menulis, menatap Mbarep dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kerja sama? Atas dasar apa? Kita bahkan nggak tahu skenario-nya seperti apa.”

“Justru karena itu,” balas Mbarep. “Saya pikir… peluang bertahan hidup lebih besar kalau kita saling jaga punggung. Nggak harus jadi tim permanen. Tapi… setidaknya di tahap awal.”

Ia menyipitkan mata. “Kamu punya pengalaman atau informasi lebih?”

Mbarep menimbang sejenak, lalu tersenyum kecil, seolah mencoba membuat dirinya sendiri terdengar lebih meyakinkan. “Jujur aja… saya belum punya pengalaman langsung. Tapi dari banyak film, novel, webtoon, sampai komik yang pernah aku baca, skenario awal kayak gini biasanya ya… perburuan monster, atau ujian bertahan hidup. Polanya hampir selalu sama.”

Ia melirik Kirana dengan sedikit harap. “Kalau memang itu yang terjadi, kita butuh strategi. Nggak bisa asal tabrak. Dan kamu… kamu kelihatan orang yang penuh perhitungan. Aku butuh seseorang kayak kamu di sisi timku, meski ini tim dadakan.”

Mbarep menghela napas pelan. “Aku mungkin bukan orang yang paling kuat di sini. Tapi aku tahu kapan harus kerja bareng orang yang tepat.”

Perempuan itu terdiam sebentar. Matanya menatap Mbarep dengan tajam, seperti sedang menganalisis lebih dari sekadar kata-katanya. Lalu, dengan nada tenang ia menjawab, “Saya Kirana. Dulunya analis data pemda.”

Ia melipat kertas kecil di tangannya dan memasukkannya ke saku. “Sejujurnya… awalnya aku ingin menertawaimu. Kukira kamu cuma bercanda. Aku juga pernah baca webtoon, nonton film—hal-hal seperti ini selalu terasa fiksi. Mana mungkin bisa menyelamatkan kita. Tapi… setelah kulihat lagi sekeliling, kejadian ini pun nggak kalah anehnya dari yang ada di film. Rasanya absurd.”

Kirana menyilangkan tangan. “Aku nggak yakin ide tim akan berhasil, terutama kalau kita bahkan nggak tahu siapa yang bisa dipercaya. Tapi… kamu orang pertama yang ngajak aku bicara bukan sebagai relawan posko, tapi sebagai orang logis yang tetap tenang di situasi seperti sekarang, dan mengajak membentuk tim dengan cara yang masuk akal. Itu sesuatu.”

Ia menatap Mbarep dalam sejenak, lalu mengangguk tipis. “Aku akan ikut. Bukan karena yakin, tapi karena aku butuh adaptasi. Anggap saja ini uji coba.”

Ia lalu menatap Mbarep lagi, kali ini dengan tatapan curiga yang dibalut rasa ingin tahu. “Tapi tunggu. Kamu bilang ‘tim’. Mana yang lain? Jangan bilang kamu datang ke sini ngajak kerja sama tapi kamu sendirian.”

Mbarep menggaruk tengkuknya, agak canggung tapi tetap tenang. “Ehm… iya. Saat ini masih sendiri. Tapi aku sudah punya satu orang yang mungkin mau gabung. Saya cuma… mulai dari nol aja. Kita semua juga baru di sini, kan?”

Kirana menarik napas pelan. Ia memandangi Mbarep beberapa detik, lalu mengangguk—meski ada sisa ragu di sorot matanya. “Yah… aku sudah bilang ikut. Jadi nggak bisa tarik kata-kata sekarang.”

Ia melirik ke arah Mbarep lagi, lalu tersenyum kecil. “Oh iya, panggilnya ‘aku’ aja, jangan ‘saya’. Terlalu formal. Sepertinya juga kita seumuran.”

Ia menggeser tas kecil di bahunya, lalu berdiri tegak. “Kalau kamu memang niat bikin tim dari awal, kita nggak bisa buang waktu. Kita harus cepat cari orang lain sebelum skenario dimulai.”

Ia berjalan duluan, lalu menoleh sedikit ke arah Mbarep. “Ayo. Kita cari siapa yang cukup waras buat diajak kerja sama.”

Mbarep pun mengangguk, lalu memberi isyarat kepada Kirana untuk mengikutinya. Mereka menyusuri sisi luar aula shelter, melintasi relawan yang lalu lalang, hingga akhirnya kembali ke tempat Raditya masih berdiri sendirian sambil menatap layar proyeksi di dinding.

“Raditya,” sapa Mbarep, membuat remaja itu menoleh. “Aku ingin kenalin kamu sama seseorang. Ini Kirana. Dia baru saja setuju untuk… semacam kerja sama awal.”

Raditya mengangguk gugup ke arah Kirana. Kirana mengamati pemuda itu dari ujung kepala sampai kaki, lalu menyodorkan tangan. “Kirana. Analis data, dulunya. Kamu?”

“Raditya. Pelajar,” jawabnya pelan.

“Aku ajak dia karena sepertinya punya naluri bertahan hidup dan kemampuan beradaptasi yang cukup menarik,” kata Mbarep sambil tersenyum kecil, mencoba terdengar meyakinkan, dengan ekspresi tenang dan serius, seolah itu hanya penilaian kasat mata biasa.

Kirana mengangguk tipis, lalu menatap Mbarep. “Lumayan. Kalau memang ini tim awal, mari kita lihat siapa lagi yang bisa diajak gabung.”

Setelah Kirana bertemu Raditya, mereka memutuskan mencari rekan lagi dengan harapan lebih banyak teman, lebih banyak kesempatan bertahan hidupnya.


Komentar


📱

Install Aksara Karsa

Akses lebih cepat dan nikmati pengalaman membaca yang lebih baik