Chapter 5: Pasar Tanpa Waktu
Saat cahaya biru memudar, dunia berubah. Bukan sekadar pemandangan yang berganti, tapi hukum realitas itu sendiri. Ratusan penantang dari berbagai penjuru Shelter Zona 07 muncul bersamaan di atas platform raksasa yang menggantung dalam kehampaan.
Pasar malam kuno menyambut mereka: jalanan melengkung dengan lentera merah menggantung, gerobak kayu tua berjejer di sisi-sisi yang seolah tak berujung. Tidak ada langit, tidak ada tanah, hanya hitam pekat membungkus horizon. Dan di tengah pemandangan absurd itu, dunia… mulai bergerak.
Suara sistem menggema:
Skenario I: Bertahan selama 30 Menit di Pasar Tanpa Waktu.
Objektif Tambahan: Temukan Token Penjaga Menara untuk menyelesaikan skenario.
Penantang yang tidak aktif atau diam di tempat lebih dari 60 detik akan dieliminasi.
Seolah pada aba-aba itu, beberapa penantang mulai panik. Ada yang terdiam, ada yang menjerit. Satu pria paruh baya berteriak memanggil istrinya—lalu tubuhnya menghilang dalam cahaya merah. Eliminasinya instan. Kepanikan menjalar.
“Jalan terus! Jangan diam!” teriak salah satu penantang.
Tapi belum sempat yang lain bereaksi, teriakan lain muncul. Kali ini karena darah.
Sosok kecil—setinggi lutut orang dewasa—meloncat keluar dari balik gerobak. Botak, bermata hitam legam, kulitnya pucat berurat. Tuyul. Makhluk ilusi dari menara, dan mereka bergerak cepat.
Tuyul pertama melompat ke arah seorang remaja yang berlutut ketakutan. Cakar mungilnya merobek dada sang korban dalam satu gerakan. Darah menyembur. Tubuh itu jatuh tanpa suara. Penantang lain menjerit, berlarian tanpa arah.
“Astaga…” Lydia terhuyung. Kirana menahan lengannya, tapi wajahnya sendiri sudah pucat.
Bima berdiri kaku. “Itu… itu beneran tuyul? Kayak di cerita-cerita? Aku… aku pikir ini cuma simulasi—”
“Tenang, Bim,” Arya menepuk bahunya. “Kita harus gerak. Jangan diem. Fokus.”
Mbarep menelan ludah. Meski tahu ini akan terjadi, melihatnya secara nyata adalah hal berbeda. Ia memanggil status window dan melihat pesan tambahan:
Makhluk Ilusi – Tuyul
Kelas: Rendah
Agresif terhadap penantang sendirian.
“Kita tetap saling jaga. Jangan sampai ada yang sendiri!” serunya.
Mereka mulai bergerak. Kirana memegang sepotong pipa kecil sebagai senjata darurat. Lydia membawa pisau lipat yang ia ambil dari shelter. Bima dan Arya sudah dalam posisi bertahan. Raditya di tengah, langkahnya cepat tapi waspada.
Di sekeliling mereka, pertempuran mulai pecah. Jeritan, teriakan, dan suara tubuh jatuh terdengar dari segala arah. Tuyul muncul dan menghilang dalam kabut, menyerang lalu melesat pergi. Satu kelompok penantang tereliminasi hanya dalam dua menit karena mereka saling berebut arah.
“Ke arah selatan pasar!” seru Mbarep.
“Kenapa ke sana?” tanya Kirana.
“Ada ruang sempit! Kita bisa kumpul lagi dan susun strategi,” jawab Mbarep cepat.
Padahal, ia ingat dengan sangat jelas—di salah satu sudut selatan pasar ini, di balik tumpukan gerobak yang tampak tidak berguna, tersembunyi sebuah peti kayu sistem yang hanya bisa diakses oleh tim yang cukup dekat dan belum terlalu dalam bertempur.
Mereka berlari dalam koordinasi longgar. Arya menjaga sisi kiri, Lydia di kanan. Bima sesekali menendang tuyul yang mencoba mendekat, refleksnya tajam meski wajahnya masih menunjukkan ekspresi syok.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah lorong sempit di antara tenda-tenda pasar yang tertutup tirai merah kusam. Di balik tirai, sesuai yang Mbarep harapkan, terdapat peti kayu besar dengan segel bercahaya.
“Bantu buka!” seru Mbarep.
Kirana dan Lydia membantunya menggeser papan penutup. Saat peti terbuka, status window sistem muncul:
[Item Tersembunyi Ditemukan]
Isi: Peralatan Bertahan Dasar - Edisi Penantang Awal
- Tombak Baja Pendek (Untuk pengguna tombak)
- Gauntlet Kulit Berikat (Pertahanan tangan)
- Sepatu Pendek Penyeimbang (Mobilitas tinggi)
- Ikat Kepala Konsentrasi (Peningkat fokus)
- Jubah Taktis x2 (Untuk pengguna dengan kemampuan pengamatan tinggi)
“Ini… jackpot,” ungkap Raditya.
Tanpa ragu, Mbarep mengambil jubah dan memberikannya pada Kirana dan Lydia.
“Kalian pengamat terbaik. Ini cocok buat kalian.”
Lydia mengangguk pelan. “Terima kasih. Aku… butuh sesuatu buat nenangin diri.”
Mbarep mengambil ikat kepala dan menawarkannya pada Raditya. “Buat bantu fokus. Kamu butuh ini.”
Raditya menerimanya dengan tangan gemetar.
Sepatu dilempar ke Arya. Gauntlet disodorkan ke Bima.
“Gue kayak baru naik level di game,” gumam Bima, mencoba menenangkan diri.
Mbarep menyimpan tombak baja untuk dirinya sendiri, menggantikan tombak latihannya yang sudah mulai aus. Ia kemudian menyerahkan tombak lamanya kepada Raditya.
“Ambil ini,” katanya sambil menyodorkan senjata itu. “Memang bukan yang terbaik, tapi jauh lebih baik dari tangan kosong.”
Raditya menerimanya dengan gugup, lalu mengangguk cepat. “Makasih, Mas.”
Begitu peralatan dikenakan, status window masing-masing anggota tim menampilkan peningkatan statistik sederhana:
[Peralatan Diperlengkapi]
- Tombak Baja Pendek (Mbarep): Kekuatan +3, Ketangkasan +1
- Tombak Latihan (Raditya): Kekuatan +1
- Gauntlet Kulit Berikat (Bima): Pertahanan +2, Kekuatan +1
- Sepatu Pendek Penyeimbang (Arya): Kelincahan +2, Keberuntungan +1
- Ikat Kepala Konsentrasi (Raditya): Kecerdasan +2, Ketangkasan +1
- Jubah Taktis (Kirana & Lydia): Kecerdasan +2, Pertahanan +1
Mbarep membaca sekilas detail itu, lalu mengangguk pelan. Bonus kecil begini kelihatannya sepele, pikirnya dalam hati, tapi di situasi kayak gini, bisa jadi penentu antara selamat atau tamat.
Peralatan dikenakan secepat mungkin. Mereka kembali berdiri dalam formasi. Di sekeliling mereka, tuyul masih berkeliaran, namun jumlahnya mulai menyusut.
Timer muncul di status window mereka.
Waktu tersisa: 14 menit 02 detik.
Masih panjang.
Namun satu hal mengganjal—objektif utama belum ditemukan. Tidak satu pun dari mereka melihat keberadaan token gerbang menuju lantai berikutnya. Koin atau simbol apa pun yang bisa dijadikan petunjuk masih tersembunyi entah di mana.
Mbarep menggertakkan gigi. “Waktu tinggal 14 menit, dan kita belum nemu tokennya sama sekali,” gumamnya lirih. “Kayaknya kita harus mulai nyisir lebih agresif.”
Tim Mbarep menyusun ulang barisan dan bergerak menyisir sisi timur pasar. Mereka berjalan cepat, mata awas menelusuri tiap tirai, tiap lorong sempit, dan tiap gerobak yang bisa menyembunyikan sesuatu. Tuyul-tuyul yang tersisa mulai bertingkah aneh—mereka tidak lagi menyerang, tapi bersembunyi, seperti menunggu sesuatu.
“Kalian ngerasa nggak sih… suasananya berubah?” tanya Kirana pelan.
“Tuyulnya nggak nyerang lagi,” tambah Arya. “Kayak nunggu aba-aba.”
“Atau pemimpin mereka,” gumam Lydia.
Bima menelan ludah. “Jangan bilang ada… versi bos-nya.”
Raditya menunjuk ke arah timur. “Itu… ada semacam altar atau panggung kayu. Ada cahaya merah redup di bawahnya.”
Mereka semua berhenti. Aura di udara menegang. Bahkan kabut di sekitar tampak lebih tebal.
“Jangan dekat dulu,” perintah Mbarep. “Tapi itu bisa jadi titik kemunculan token… atau jebakan.”
Namun saat mereka bersiap untuk mendekat lebih hati-hati, suara sistem menggema lagi—tapi kali ini dalam nada yang lebih dalam dan lambat:
Sisa waktu: 09 menit 57 detik.
Dan kemudian, panggung kayu itu berguncang.
Sesuatu mulai bangkit dari balik celah papan lantainya.
Satu pasang mata menyala merah—lebih besar dari tuyul mana pun.
Dalam sekejap, hawa di sekitar mereka menegang, seolah udara sendiri menahan napas. Angin yang tidak pernah ada kini berdesir dingin. Bulu kuduk berdiri, dan semua penantang yang ada—bahkan Kelompok Mbarep sekalipun—merasakan merinding serempak. Sesuatu yang besar, kuno, dan mematikan telah bangkit.