Chapter 1: Hari Ketika Cerita Menjadi Nyata
Mbarep terbangun di lantai kamarnya, masih dengan pakaian yang sama. Cahaya dari luar tidak lagi terang, tetapi keunguan, seolah-olah langit telah mengganti spektrum warnanya. Listrik di kamarnya mati. Hanya suara angin dan dentuman samar dari kejauhan yang menemani kesadarannya yang mulai pulih.
Ia berdiri perlahan. Ponselnya tak bisa menyala. Sinyal hilang. Laptopnya retak, layar hitam. Namun, tulisan berpendar tetap ada. Tidak di layar. Tapi di udara. Melayang menunjukan jendela status.
> Status: Penantang Terdaftar - Mbarep Kusuma
> Kelas: ???
> Level: 1
Sebuah jendela transparan mengikuti gerak matanya. Ia mencoba menyentuhnya, dan jendela itu merespons. Ada menu, sub-menu, sungguh tampilan yang sangat canggih.
> Shop: Belum Tersedia
> Skenario Aktif: 0
> Sponsor: Tidak Ada
Suara gaduh dari luar membuyarkan perhatiannya. Orang-orang di luar bangunanya banyak berhamburan. Beberapa berteriak, sebagian menangis, ada yang hanya duduk diam mematung. Mbarep melihat dari jendela, ada asap membumbung dari arah pusat kota.
Sementara itu, suara seperti pengumuman terdengar dari udara, tak jelas dari mana asalnya.
"Skenario Awal akan dimulai dalam 12 jam. Semua Penantang diminta bersiap. Penantang yang tidak aktif akan dieliminasi dari Skema Realita. Silahkan Menuju Shelter Terdekat diwilayah Anda"
Nada suara itu datar. Netral. Tanpa emosi.
Mbarep duduk di lantai. Tangannya gemetar. Ia tahu cerita ini. Ia tahu sistem ini. Ia yang menulis semuanya. Tapi kenyataannya jauh lebih menakutkan.
Mbarep beranjak keluar dari kosannya. Melihat sepanjang jalan di Kota. Tak sadar, kota itu sudah hancur. Yang tersisa merupakan jalan-jalan rusak dan rumah-rumah kosong. Mbarep tidak tahu berapa lama ia tak sadarkan diri, tetapi waktu menunjukkan telah 10 jam sejak awal kemunculan tower, dan pertemuannya dengan Juru Ghaib di depan pintu.
Tiba-tiba, cahaya pesan notifikasi kembali muncul di depan Mbarep:
"Mohon menuju ke Shelter terdekat Anda. Silakan ikuti petunjuk arah berikut."
Begitu tulisan itu muncul, papan itu bergeser ke samping dan berubah menjadi tampilan peta 3D mini, melayang di udara. Sebuah panah kuning berdenyut pelan, menunjukkan jalur yang harus ia ambil. Garis biru mengikuti rute dari posisinya sekarang hingga ke titik akhir—sebuah ikon yang menandai lokasi shelter terdekat.
Di seluruh tempat, di seluruh dunia, berbagai shelter dibentuk di lokasi-lokasi strategis, salah satunya di kota Mbarep, kota kecil Salatiga—tepatnya di bekas gedung Bappeda yang kini berubah menjadi pusat logistik dan perlindungan sipil. Bangunan itu dikelilingi pagar kawat dan tenda darurat. Spanduk besar terbentang di gerbang masuk bertuliskan:
OTORITAS SKENARIO – ZONA 07: SALATIGA
Mbarep pun berjalan menuju barak tersebut. Suasana di dalam barak menyerupai camp pengungsi dan markas militer sekaligus. Ruang aula utama yang dulu digunakan untuk rapat pemerintah, kini berubah menjadi pusat berkumpulnya para penantang menara dan masyarakat sipil yang masih selamat. Di sudut-sudut, warga sipil duduk berselimut, sebagian menangis, sebagian saling berpelukan.
Mbarep Kusuma berada di antara mereka. Ia duduk sendiri, menunduk dalam diam, mengenakan jaket tipis yang diberikan relawan. Matanya sayu, tubuhnya lelah. Kepalanya masih berat oleh kenyataan bahwa dunia kini hidup dalam alur cerita yang ia tulis. Tapi tak seorang pun tahu hal itu. Ia menyimpannya rapat-rapat.
Ia mengamati hologram di depan aula: countdown besar ke skenario pertama, daftar nama penantang aktif, dan grafik aneh yang memperlihatkan fluktuasi energi tower.
“Mbarep?”
Suara yang sangat familiar menyapa dari arah belakang. Ia menoleh cepat dan mendapati sosok perempuan berdiri dengan mengenakan kemeja formal berwarna putih, berdasi, mengenakan celana kain, dan sepatu boot hitam.
Lydia Saras Dwiastuti. Dulu, dia adalah atasan Mbarep saat mereka bekerja sebagai customer service di sebuah perusahaan E-Commerce dan Media sosial Semarang. Kini, di barak darurat itu, ia tampak sangat berbeda. Mengenakan seragam formal dan sepatu boot hitam, Lydia terlihat seperti petugas sipil yang sedang bertanggung jawab atas distribusi logistik—tenang, terorganisir, dan sigap seperti seseorang yang telah lama bekerja di medan krisis.
“Lydia…?”
“Kita ketemu lagi,” katanya sambil melangkah pelan mendekat. Suaranya tetap lembut seperti dulu, tapi sorot matanya berbeda—ada kelelahan mendalam yang tak bisa disembunyikan, seperti seseorang yang terlalu lama menahan beban di tengah dunia yang runtuh.
“Kamu juga… kok di sini?”
“Awalnya aku cuma ikut dinas pelatihan kerja. Kamu tahu kan, aku sudah resign dari perusahaan itu. Sekarang aku kerja di perusahaan lain yang kantornya di Pemalang. Kebetulan seminggu yang lalu itu ada pelatihan di Salatiga. Terus kejadian ini terjadi, aku jadi terjebak di sini. Daripada bengong nggak jelas, akhirnya aku mutusin buat bantu sebisa mungkin.”
Mbarep mencoba tersenyum, meski wajahnya masih pucat. “Di tengah semua kekacauan ini… kamu masih aja mikirin orang lain, ya, Lyd. Kamu memang selalu luar biasa.”
Lydia tertawa kecil, lalu menatap Mbarep dengan senyum hangat. “Terus kamu gimana? Masih nulis novel? Aku masih ingat, kamu resign waktu itu karena pengin ngejar mimpi jadi penulis, kan, Barep? Siapa yang nyangka, dunia bisa berubah segila ini—kayak cerita-cerita di Novel.”
“Iya… masih nulis juga. Nggak segiat dulu sih, tapi… ya, lumayan buat tetap waras.”
“Dulu kamu sering bolos daily huddle cuma buat nyelesein tulisanmu, kan?” kata Lydia sambil menatap Mbarep dengan senyum yang setengah menggoda. “Kamu nulis novel tentang apa sih sebenernya? Jangan-jangan… kayak dunia sekarang ini?”
Mbarep berbicara dalam hati, “Gila… intuisi perempuan memang nggak bisa diremehkan.” Ia menarik napas pelan, mencoba menenangkan pikirannya yang sempat goyah, lalu menggeleng pelan sambil menjawab.
“Nggak, nggak segitunya. Aku cuma… suka nulis yang agak melankolis. Kebanyakan tentang cinta yang nggak kesampaian—kayak pungguk merindukan bulan, Majnun mengejar Layla, atau Rahwana yang mencintai Shinta tapi tahu nggak akan pernah bisa memilikinya.”
Kata-katanya menggantung di udara, seolah ia tak hanya menjelaskan naskah, tapi juga membocorkan isi hatinya yang belum pernah ia akui.
Lydia menatapnya sesaat, matanya penuh rasa ingin tahu, tapi juga kehati-hatian. Ia lalu mengangguk pelan, senyum tipis tersungging di wajahnya. “Kalau nanti ada waktu… ceritain naskah terbarumu ya. Aku penasaran. Kayaknya seru, dan… aku pengin tahu dunia yang kamu ciptain.”
Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan nada bercanda yang getir, “Tapi ya semoga aja kita masih punya cukup waktu. Kalau dunia ini nggak keburu ambruk sebelum kamu sempat cerita.”
Mereka berjalan beriringan menuju tenda logistik, menyusuri lorong-lorong darurat yang dipenuhi suara langkah kaki, bau obat-obatan, dan gemuruh generator listrik. Di tengah tekanan dan ketidakpastian, mereka justru larut dalam obrolan ringan, seolah ingin mencuri sedikit kehangatan dari masa lalu.
Lydia bercerita bagaimana ia harus tidur di dalam toilet Bappeda karena semua ruang sudah penuh. “Untung toiletnya bersih dan ada ventilasi. Kalo nggak, aku udah kabur ke hutan kayaknya,” candanya disambut tawa kecil Mbarep.
Mereka membahas bagaimana para Juru Ghaib membangun shelter ini—secara harfiah—dalam satu jentikan jari. Tenda-tenda muncul dari tanah, logistik tersusun seperti sulap, dan sistem administrasi terpasang seperti dunia sudah mempersiapkan segalanya sejak lama.
“Kamu tahu nggak,” kata Lydia, menunduk sebentar lalu menatap Mbarep, “mereka bahkan ngambil alih pemerintahan. Nggak ada perlawanan, nggak ada pemilu, nggak ada siaran darurat. Mereka cuma muncul, dan semua orang… nurut aja. Bukan karena setuju, tapi karena takut.”
Ia menghela napas, menatap langit-langit tenda sejenak sebelum melanjutkan. “Waktu itu aku masih di aula Bappeda, dan aku lihat sendiri. Sekelompok dari mereka—Juru Ghaib—muncul di tengah ruang rapat kota. Tanpa suara, tanpa ancaman. Tapi aura mereka… kayak ngelihat mimpi buruk berdiri di depan mata. Kepala dinas langsung jatuh berlutut. Pejabat-pejabat lain cuma bisa bengong, nggak ada yang berani buka mulut.”
“Satu dari mereka maju, ngomong pendek aja. Katanya, ‘Pemerintahan lama tidak relevan. Kami akan mengambil alih fungsi pengelolaan realita.’ Gitu doang. Dan setelah itu… segalanya berubah. Surat keputusan muncul sendiri di layar-layar digital. Proyek nasional langsung dialihkan ke sistem mereka. Bahkan sistem keamanan negara terhubung otomatis ke jaringan mereka.”
Ia menatap Mbarep lebih dalam. “Mereka kayak dewa. Tapi bukan dewa yang minta disembah. Mereka nggak peduli kita takut atau nggak. Mereka cuma… jalan terus. Dan itu yang paling menakutkan.”
Mereka berjalan beriringan menuju tenda logistik, menyusuri lorong-lorong darurat yang dipenuhi suara langkah kaki, bau obat-obatan, dan gemuruh generator listrik. Di tengah tekanan dan ketidakpastian, mereka justru larut dalam obrolan ringan, seolah ingin mencuri sedikit kehangatan dari masa lalu.
Lydia bercerita bagaimana ia harus tidur di dalam toilet Bappeda karena semua ruang sudah penuh. “Untung toiletnya bersih dan ada ventilasi. Kalo nggak, aku udah kabur ke hutan kayaknya,” candanya disambut tawa kecil Mbarep.
Mereka membahas bagaimana para Juru Ghaib membangun shelter ini—secara harfiah—dalam satu jentikan jari. Tenda-tenda muncul dari tanah, logistik tersusun seperti sulap, dan sistem administrasi terpasang seperti dunia sudah mempersiapkan segalanya sejak lama.
“Kamu tahu nggak,” kata Lydia, menunduk sebentar lalu menatap Mbarep, “mereka bahkan ngambil alih pemerintahan. Nggak ada perlawanan, nggak ada pemilu, nggak ada siaran darurat. Mereka cuma muncul, dan semua orang… nurut aja. Bukan karena setuju, tapi karena takut.”
Ia menghela napas, menatap langit-langit tenda sejenak sebelum melanjutkan. “Waktu itu aku masih di aula Bappeda, dan aku lihat sendiri. Sekelompok dari mereka—Juru Ghaib—muncul di tengah ruang rapat kota. Tanpa suara, tanpa ancaman. Tapi aura mereka… kayak ngelihat mimpi buruk berdiri di depan mata. Kepala dinas langsung jatuh berlutut. Pejabat-pejabat lain cuma bisa bengong, nggak ada yang berani buka mulut.”
“Satu dari mereka maju, ngomong pendek aja. Katanya, ‘Pemerintahan lama tidak relevan. Kami akan mengambil alih fungsi pengelolaan realita.’ Gitu doang. Dan setelah itu… segalanya berubah. Surat keputusan muncul sendiri di layar-layar digital. Proyek nasional langsung dialihkan ke sistem mereka. Bahkan sistem keamanan negara terhubung otomatis ke jaringan mereka.”
Ia menatap Mbarep lebih dalam. “Mereka kayak dewa. Tapi bukan dewa yang minta disembah. Mereka nggak peduli kita takut atau nggak. Mereka cuma… terbang dan bentuk mereka ngeri terus. Dan itu yang paling menakutkan.”
Merekapun sampai di tenda logistik, tapi langkah mereka melambat, obrolan terus berlanjut. Ada sesuatu yang nyaman dalam membicarakan masa lalu, seolah-olah itu satu-satunya hal yang masih terasa normal.
Lydia menggeleng, senyumnya tulus. “Udah, jangan bahas yang berat-berat. Malam ini… biar aku pura-pura kita lagi duduk nunggu jam istirahat, sambil bahas drama Korea yang baru. Boleh ya?”
Tepat saat itu, sebuah panel holografik menyala terang di udara, dan suara sistem Juru Ghaib terdengar di seluruh shelter:
"Pemberitahuan untuk seluruh penantang aktif di Zona 07. Skenario I akan dimulai dalam 10 jam. Harap persiapkan diri."
Suara itu hilang. Mereka saling menatap dalam diam yang canggung.
Melihat wajah Lydia yang sedikit pucat dan kantung matanya yang mulai menghitam, Mbarep menggaruk tengkuknya—kebiasaan lama saat ia gugup. “Lyd… kamu kelihatan kayak belum tidur berhari-hari.”
“Makasih observasinya, sipaling sok tau orang,” balas Lydia dengan nada datar, tapi ada sedikit senyum di ujung bibirnya. “Kamu juga nggak jauh beda. Masih suka lupa makan kalau lagi stress, kan?”
Mbarep terkekeh kecil. “Masih inget aja kebiasaan burukku.”
“Gimana bisa lupa? Dulu aku yang sering ngingetin kamu beli makan siang.” Lydia duduk di bangku kayu di dekat dinding tenda, bahunya turun seperti beban berat baru saja dilepas. “Sekarang… entah kenapa rasanya itu kejadian bertahun-tahun yang lalu.”
Mbarep duduk di sampingnya, jarak mereka cukup dekat tapi tidak terlalu intimate. “Dunia berubah dalam semalam, tapi kamu masih tetap sama—selalu mikirin orang lain duluan.”
“Jangan lebay, Barep.” Lydia menatap tangannya sendiri. “Aku cuma… nggak tahu harus ngapain selain tetap bergerak. Kalau aku berhenti…” Suaranya menggantung.
“Kalau kamu berhenti, kamu bakal mikir terlalu dalam tentang semua yang udah terjadi,” lanjut Mbarep pelan. “Aku kenal kamu, Lyd. Kamu tipe orang yang kalau ada masalah, pasti nyalain semua orang kecuali diri sendiri.”
Lydia menoleh, menatap Mbarep dengan ekspresi terkejut. “Sejak kapan kamu jadi sok tahu gini sih?”
“Sejak dulu. Cuma dulu aku terlalu pengecut buat ngomong.” Mbarep tersenyum tipis. “Lagian, siapa yang dulu sering lembur sampai tengah malam gara-gara ngebantu tim yang keteteran? Terus pas ditanya kenapa, jawabnya selalu ‘Ah, nggak apa-apa, aku juga lagi nggak ada kerjaan.’”
Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu kembali, Lydia tertawa—tawa kecil tapi tulus. “Ugh, kenapa kamu inget banget sih?”
“Karena aku yang sering pulang bareng kamu, Lyd. Ingat? Kamu selalu nunggu semua orang selesai dulu baru pulang.”
Mereka terdiam sejenak. Bukan diam yang canggung, tapi diam yang nyaman—seperti dua orang yang paham satu sama lain tanpa perlu banyak kata.
“Barep,” Lydia menatap langit-langit tenda. “Kamu percaya nggak kalau semua ini nyata? Maksudku… tower, monster, sistem aneh-aneh…”
“Jujur? Nggak.” Mbarep mengusap wajahnya. “Tapi aku juga nggak punya pilihan selain menerima. Kamu gimana?”
“Sama. Cuma…” Lydia ragu sejenak. “Kadang aku merasa kayak lagi bermimpi buruk yang nggak bisa bangun-bangun.”
Mbarep menatapnya, melihat kerentanan yang jarang Lydia tunjukkan. Dulu, perempuan ini selalu jadi yang terkuat di tim mereka. “Kalau ini mimpi buruk, setidaknya kita mimpi buruk bareng.”
Lydia tersenyum tipis. “Filosofis banget. Bener-bener kayak penulis.”
“Hei, itu profesi yang mulia, tau.”
“Mulia tapi ga ada cuannya,” goda Lydia, suasana jadi sedikit lebih ringan.
“Touché.” Mbarep terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada lebih serius. “Lyd, kalau kamu butuh istirahat sebentar…”
“Nggak bisa.” Lydia berdiri, ekspresinya kembali tegas. “Masih banyak yang harus diatur di posko logistik. Orang-orang butuh bantuan, meski cuma soal dimana tidur dan dapat makan apa besok.”
“Kamu yakin?”
“Yakin. Lagian…” Lydia menatap Mbarep dengan senyum miring. “Kamu juga pasti bakal keliling-keliling kan? Dulu kamu nggak pernah bisa diam di satu tempat lebih dari setengah jam.”
Mbarep tertawa. “Masih inget aja.”
“Makanya jangan sok perhatian ke aku terus. Kamu juga butuh istirahat.” Lydia mengacak rambut Mbarep sekilas—gerakan spontan yang mengingatkan mereka pada masa lalu. “Jangan lupain makan, ya. Dan jangan tidur terlalu malam mikirin hal-hal aneh.”
“Iya, Bu!” goda Mbarep.
“Dasar.” Lydia berbalik, tapi sebelum melangkah, ia menambahkan tanpa menoleh. “Barep… syukurlah kamu selamat. Aku sempat mikir yang nggak-nggak waktu pertama kali dunia jadi kayak gini.”
Dengan itu, ia melangkah pergi. Langkahnya lebih ringan dari sebelumnya, meski pundaknya masih tegap dengan tanggung jawab.