Chapter 15: Warisan Naga Air
Kesadaran Mbarep telah kembali, bukan sebagai ledakan, tetapi sebagai riak lembut di lautan ketiadaan. Mbarep โterbangunโ, jika itu bisa disebut demikian. Ia tidak memiliki tubuh, tidak memiliki indra. Ia hanyalah sebuah titik kesadaran murni yang melayang di dalam ruang ujian yang kini sunyi.
Di bawahnya, ia bisa โmelihatโ jasadnya sendiri terbaring tak bernyawa. Dingin, kosong, hanyalah sebuah cangkang. Ia telah mati. Ia telah kalah.
Namun, ia merasaโฆ ringan. Beban berat dari rasa bersalah, tanggung jawab, dan ketakutan sebagai penulis telah lenyap. Ego yang selama ini membelenggunya telah hancur bersama dengan kekalahannya.
Sebuah panel baru muncul di hadapannya, cahayanya kini bukan merah darah, melainkan putih keperakan yang menenangkan.
[Ujian Kehampaan: Selesai]
[Syarat Kelulusan: Kematian Ego Absolut]
[Dengan menerima kekalahan dan kematian dari persona 'Sang Penulis', Anda telah mencapai tujuan akhir dari Suwung: Mati Sajroning Urip (Kematian di Dalam Kehidupan).]
[Selamat, Penantang. Anda telah menyelaraskan kelima elemen.]
Mbarep akhirnya mengerti. Ujian ini tidak pernah bisa dimenangkan dengan perlawanan. Satu-satunya cara untuk mengalahkan ego yang maha kuasa adalah dengan membiarkannya menang, membiarkannya menghancurkan wadahnya, dan dengan demikian, menghancurkan dirinya sendiri. Kekalahan totalnya adalah kemenangan tertingginya.
Sebelum ia sempat memproses ironi yang luar biasa ini, kesadarannya ditarik dengan kekuatan dahsyat.
[Memulai transfer paksa ke hadapan Penjaga Keseimbangan...]
Dalam sekejap, kegelapan kuil digantikan oleh pendaran biru kehijauan dari sebuah gua bawah tanah yang maha luas. Mbarep tahu di mana ia berada. Ini adalah jantung dari domain ini, sebuah manifestasi dari legenda yang paling kuat di wilayah ini. Danau ini adalah Inti Rawa Pening. Ia kini melayang sebagai roh di tarik oleh kekuatan Penjaga wilayah ini.
[Anda telah memasuki area terakhir: Kuil Naga Air]
โJiwa yang telah mengosongkan cangkirnya,โ suara sang Naga menggema di dalam kesadaran Mbarep. โKau telah berhasil mencapai apa yang hanya bisa dicapai oleh segelintir resi di masa lalu. Kau siap untuk ujian terakhirku, anak manusia.โ
Air di hadapan Mbarep mulai bergolak. Dari kedalaman yang hitam, sesosok makhluk raksasa mulai naik ke permukaan. Bukan dengan ganas, melainkan dengan anggun. Pertama, muncul sebuah kepala yang lebih besar dari mobil L300, ditutupi sisik sebiru safir yang berpendar lembut. Dua tanduk seperti cabang pohon beringin melengkung ke belakang, dan sepasang sungut panjang yang bercahaya menjuntai dari moncongnya. Matanya, sebesar perisai, terbuka perlahan. Pupilnya vertikal seperti mata reptil, namun irisnya memancarkan cahaya keemasan yang penuh dengan kebijaksanaan dan kesedihan yang tak terhingga.
Makhluk itu adalah seekor Naga, atau lebih tepatnya, Naga Jawa yang tubuhnya panjang seperti ular, meliuk-liuk di dalam air dan di udara tanpa sayap. Tubuhnya yang spektral terbuat dari air dan cahaya, terus-menerus berubah bentuk namun tetap mempertahankan wujud naganya.
Ini adalah Sang Penjaga. Roh leluhur yang legendanya membentuk danau ini. Baru Klinting.
โKau datang mencariku,โ lanjut sang Naga, kepalanya kini melayang beberapa meter di atas permukaan air, menatap Mbarep dengan tatapan yang seolah bisa melihat langsung ke dalam jiwanya. โBanyak yang datang menemuiku di masa lalu. Jauh sebelum sistem aneh ini ada. Tapi tak ada yang berubah, manusia selalu datang dengan keserakahan, mencari kekuatan. Mereka datang dengan ketakutan, mencari derajat berselimutkan keselamatan. Tapi kauโฆ kau datang dengan jiwa yang telah ditempa.โ
Mbarep hanya terdiam dalam wujud rohnya, sebuah tanda hormat pada makhluk agung di hadapannya. Kebangkitan menara-menara ini tidak hanya membuat sebagian dari novel Mbarep nyata, tetapi membuat legenda dan cerita rakyat ikut termanifestasikan. Membangunkan para raksasa yang selama ini tertidur di dalam cerita rakyat.
โAkuโฆ aku hanya ingin melewati ujian,โ jawab Mbarep jujur.
Sang Naga tersenyum, sebuah gerakan yang aneh di wajah reptiliannya. โSekarang,โ lanjut Baru Klinting, suaranya menjadi lebih serius. โKau akan menghadapi ujian terakhir dariku. Ini bukan ujian kekuatan, bukan pula ujian kecerdasan. Ini adalah ujian atas hatimu, dan ujian ruh-mu yang telah berpisah dengan badanmu. Ini adalah Sebuah Ujian Warisan.โ
Mbarep mengangguk. โSaya siap.โ
โKita lihat saja,โ gumam sang Naga. Matanya yang keemasan tiba-tiba bersinar terang.
Sebuah panel sistem muncul di hadapannya, ringkas dan jelas.
[Anda telah memasuki area ujian]
[Hadapi ujian terakhir untuk menyelesaikannya ujian domain ini.]
Seluruh pemandangan gua di sekitar Mbarep melebur. Suara air lenyap, pendaran lumut memudar. Dunianya berputar dalam pusaran warna, dan ketika segalanya kembali fokus, ia tidak lagi berdiri di tepi danau bawah tanah.
Ia berdiri di jalanan tanah sebuah desa yang ramai dan makmur. Rumah-rumah kayu beratap jerami berdiri dengan rapi. Lumbung-lumbung padi tampak penuh. Orang-orang desa berlalu-lalang dengan pakaian yang bagus, wajah mereka menunjukkan kepuasan dan kesombongan. Mbarep sadar, ia berada dalam sebuah ilusi, sebuah kenangan. Ini adalah Desa Pathok, desa dari legenda Baru Klinting, sesaat sebelum kehancurannya.
Mbarep sendiri tidak berwujud. Ia hanyalah sosok roh yangg pergi ke masa lalu, bisa melihat dan mendengar segalanya, namun tidak bisa dilihat atau berinteraksi.
Kemudian, ia melihatnya. Seorang anak laki-laki kurus dengan pakaian compang-camping berjalan tertatih-tatih memasuki desa. Seluruh tubuhnya dipenuhi borok yang menjijikkan. Ia berjalan dari satu pintu ke pintu lain, meminta sedikit makanan dan air dengan suara yang lemah.
Mbarep terpaksa menyaksikan adegan yang menyakitkan itu berulang kali. Anak itu diusir, dicaci maki, bahkan dilempari batu oleh anak-anak desa lain sementara orang tua mereka hanya tertawa. โPergi kau, anak penyakitan! Kau hanya akan membawa sial!โ teriak seorang pria gemuk dari depan rumahnya yang besar.
Hati Mbarep terasa perih. Ia tahu anak ini adalah wujud manusia dari Baru Klinting. Ia merasakan kembali kemarahan yang pernah ia taklukkan di Ujian Api. Kemarahan pada ketidakadilan.
Akhirnya, anak itu tiba di gubuk paling kecil dan reyot di ujung desa. Seorang wanita tua yang bungkuk, Mbok Rondho, keluar dari gubuk itu. Melihat kondisi si anak, wanita tua itu tidak menunjukkan rasa jijik. Ia justru meneteskan air mata. Dengan lembut, ia memapah anak itu masuk ke dalam gubuknya dan memberinya semangkuk nasi dan sayurโmungkin satu-satunya makanan yang ia miliki untuk hari itu.
โMakanlah, Ngger. Hanya ini yang nenek punya,โ kata wanita tua itu dengan tulus.
Di tengah adegan itu, Mbarep merasakan sesuatu yang dingin dan keras muncul di genggamannya. Ia melihat ke bawah. Di tangannya kini ada sebatang lidi, sehelai tulang daun kelapa yang kering dan tajam.
Anak laki-laki itu kemudian keluar dari gubuk Mbok Rondho. Ia berjalan ke tengah alun-alun desa dan menancapkan lidi itu ke tanah. Ia menantang semua penduduk desa yang sombong itu. โWahai orang-orang Pathok! Jika kalian memang sehebat yang kalian kira, cabutlah lidi ini dari tanah! Siapa pun yang berhasil, aku akan menjadi hambanya seumur hidup!โ
Seluruh desa tertawa. Satu per satu pria terkuat di desa maju mencoba mencabut lidi itu. Namun, tak satu pun yang berhasil. Lidi itu tertancap seolah akarnya menembus sampai ke inti bumi.
Setelah semua orang gagal dan menyerah, anak laki-laki itu berjalan dengan tenang dan mencabut lidi itu dengan satu tangan, semudah mencabut sehelai rumput.
Pada saat inilah, ilusi di sekitar Mbarep membeku. Semua orang diam di posisinya seperti patung. Suara Baru Klinting kembali menggema di benak Mbarep, kini penuh dengan beban penghakiman.
โAir akan segera menyembur dari lubang ini. Air yang akan menenggelamkan kesombongan dan keangkuhan mereka. Air yang akan membersihkan tanah ini. Banjir ini adalah takdir yang tak terhindarkan. Tugasku sebagai penjaga adalah memastikan keseimbangan kembali. Dan tugasmu, dalam ujian ini, adalah memilih.โ
Lidi di tangan Mbarep bergetar.
โLihatlah mereka,โ lanjut suara itu. โSatu desa yang penuh dengan hati yang busuk. Dan satu wanita tua dengan hati semurni emas. Air akan datang untuk semua. Kau memegang lidi itu di tanganmu. Kekuatan untuk memulai penghakiman. Aku memberimu pilihan yang tidak pernah aku miliki saat itu.โ
โPilihan apa?โ bisik Mbarep.
โPilihan untuk menghakimi, kau saat ini bisa memberikan penghakiman pada kisah yang kutunjukanโ ucap sang Naga, suaranya seperti aliran air tua yang membawa bisik masa lalu. โSiapakah yang layak untuk diselamatkan? Apakah kau akan menyelamatkan Mbok Rondho seorang, membiarkan yang lain tenggelam dalam dosa mereka, seperti yang tertulis dalam legenda? Ataukah kau, dalam belas kasihanmu yang naif, akan mencoba menyelamatkan mereka semua, bahkan mereka yang telah menyakitimu? Atauโฆ apakah kau akan memutuskan bahwa tak ada satu pun dari mereka yang layak, dan membiarkan air membersihkan segalanya?โ
Ini adalah jebakan. Mbarep langsung menyadarinya. Ujian ini bukanlah tentang memilih siapa yang selamat. Ujian ini menguji apakah ia akan jatuh ke dalam perangkap yang sama dengan para dewa dan rajaโbermain hakim atas hidup dan mati. Itu adalah arogansi tertinggi, puncak dari ego yang baru saja ia taklukkan di Ujian Kehampaan.
Ia melihat kembali ke arah para penduduk desa yang membeku. Wajah mereka penuh cemoohan dan kesombongan. Lalu ia melihat Mbok Rondho, yang berdiri di depan gubuknya dengan wajah penuh kekhawatiran pada si anak.
Apa yang akan ia lakukan? Menyelamatkan satu orang dan mengorbankan yang lain? Itu adalah perhitungan dingin seorang ahli strategi. Mencoba menyelamatkan semua? Itu adalah kebodohan, karena kejahatan mereka nyata. Mengutuk semua? Itu adalah keputusasaan.
Mbarep teringat pada pelajarannya. Tanah adalah tentang fondasi. Air tentang penerimaan. Angin tentang tanggung jawab. Api tentang pengendalian. Dan Kehampaan adalah tentang melepaskan ego.
Ia tidak akan menjadi hakim.
Mbarep tidak berjalan ke tengah alun-alun untuk mencabut lidi itu. Ia juga tidak berjalan ke arah penduduk desa. Sebaliknya, ia berjalan lurus ke arah gubuk kecil Mbok Rondho. Wanita tua itu membeku dalam waktu, tidak menyadari kehadirannya.
Mbarep berjongkok di depan pintu gubuk yang reyot itu. Dengan kedua tangannya, ia menancapkan lidi yang ia pegang ke tanah, tepat di ambang pintu gubuk itu. Ia tidak mencabutnya untuk memulai banjir. Ia menancapkannya sebagai penanda, sebagai segel.
โSaya tidak akan memilih siapa yang hidup atau mati,โ kata Mbarep pada kehampaan. โItu bukan hak saya. Saya hanya bisa memilih apa yang harus dilindungi.โ
Ia berdiri. โSaya tidak akan memulai banjir penghakiman. Tapi jika banjir itu tak terhindarkan, maka saya akan menggunakan kekuatan yang saya miliki untuk melindungi satu-satunya titik welas asih di tempat ini. Biarlah lidi ini menjadi tonggak, bukan untuk menenggelamkan, tetapi untuk menjadi suar bagi kebaikan, sekecil apa pun itu.โ
Tindakannya adalah sebuah penolakan total terhadap premis ujian itu. Ia menolak untuk menjadi hakim.
Seluruh ilusi di sekitarnya hancur berkeping-keping seperti kaca. Ia kembali berada di tepi danau bawah tanah. Sang Naga Air, Baru Klinting, menatapnya dari seberang danau. Di matanya yang keemasan, tidak ada lagi kesedihan, melainkan secercah kekaguman yang tulus.
โSelama ribuan tahun aku menunggu,โ suara sang Naga kini terdengar lebih ringan. โMenunggu seseorang yang tidak terjebak dalam pilihan antara hukuman dan pengampunan. Seseorang yang mengerti bahwa kekuatan sejati bukanlah untuk menghakimi, tetapi untuk melindungi.โ
โKau telah lulus, anak manusia.โ Baru Klinting mengangguk puas. โKau telah membuktikan kelayakanmu. Namun, jiwa tanpa raga akan memudar ditelan waktu. Kau membutuhkan sebuah wadah.โ
โAku akan memberimu wadah baru,โ lanjut sang Naga. โDitempa dari esensi air Rawa Pening dan keteguhan tanah Jawa. Sebuah tubuh yang mampu menampung jiwamu yang telah tercerahkan. Tapi ketahuilah, setiap anugerah agung memiliki harga yang setimpal.โ
Baru Klinting menghembuskan kabut biru kehijauan yang bercahaya ke arah roh Mbarep. Kabut itu menyelimutinya, memadat, membentuk otot, tulang, dan kulit. Mbarep merasakan sensasi memiliki tubuh kembali, namun tubuh ini terasa berbeda. Lebih kuat, lebih ringan, lebih selaras dengan alam.
[Ujian Terakhir: Warisan Sang Naga Air - Selesai]
[Anda dianugerahi Warisan Baru Klinting.]
[Anda telah dianugerahi 'Wadah Naga']
[Semua statistik dasar meningkat secara signifikan.]
[Anda mendapatkan kemampuan pasif 'Sisik Gaib': Resistensi fisik dan magis meningkat.]
Proses pembentukan tubuh barupun terselesaikan, saat ini Mbarep memiliki tubuh fisik baru โWadah Nagaโ.
โTeman-temanmu menunggumu di tanah yang disebut Kota Atlas,โ kata Baru Klinting. โPerjalanan darat akan memakan waktu, sementara takdir tidak sabar. Air terhubung dengan air. Aku akan membukakan jalan terakhir untukmu.โ
Sang Naga menundukkan kepalanya yang agung ke permukaan danau. Air mulai berputar, membentuk pusaran yang tenang di kaki Mbarep.
โMasuklah. Pusaran ini akan membawamu ke Tuk (Sumber Mata Air) Tirta Pengilon, sebuah mata air kuno di tanah yang kau tuju. Dari sana, ikuti kata hatimu.โ
Tanpa ragu, Mbarep melangkah ke dalam pusaran air itu. Tubuhnya terasa ringan, ditarik ke dalam kedalaman danau dengan lembut. Pemandangan gua yang megah lenyap, digantikan oleh aliran cahaya biru yang menderu hening.
Dalam sekejap, ia terdorong ke atas. Ia menyembul dari permukaan air, terbatuk dan mengambil napas dalam-dalam. Ia tidak lagi berada di danau bawah tanah, melainkan di sebuah sendang (mata air) kecil yang dikelilingi pohon-pohon beringin tua. Udara sore yang hangat menyambutnya, mengisi paru-parunya dengan udara segar yang hangat. Ia berhasil kembali. Ia telah tiba di Semarang.
Ia meraba wajahnya, tubuhnya. Semuanya terasa sama, namun berbeda. Ia mencondongkan tubuhnya ke permukaan air yang jernih untuk melihat pantulan dirinya. Wajahnya masih wajahnya. Rambut ikalnya masih acak-acakan. Tapi ada sesuatu yang salah.
Perlahan, ia menyibak rambut yang menutupi sisi kanan wajahnya. Jantungnya serasa mencelos. Di dalam pantulan itu, ia melihat mata kanannya telah berubah total. Irisnya tidak lagi berwarna cokelat gelap, melainkan emas cemerlang. Dan pupilnya bukan lagi bulatan hitam, melainkan sebuah garis vertikal yang tajam dan dingin. Mata seekor naga. Mata seekor reptil.
Inilah harganya. Warisan yang terkutuk.
Ia cepat-cepat kembali menutupi matanya dengan rambutnya. Ia mendengar suara riuh dari kejauhan. Suara dari Shelter Jatidiri. Timnya menunggunya.
Ia berdiri, tubuh barunya terasa penuh kekuatan, namun hatinya dipenuhi kecemasan baru. Ia telah lulus dari ujian yang paling berat, tetapi ia kembali ke dunia dengan membawa sebuah rahasia mengerikan yang harus ia sembunyikan dari semua orang, terutama dari teman-teman terdekatnya. Perjalanannya sebagai manusia baru saja dimulai, dengan sebuah tanda abadi bahwa ia bukan lagi sepenuhnya manusia.