Skip to content
Go back
Content Protected

Chapter 9 - Bisikan dari Kedalaman

 •  7 menit waktu membaca

Chapter 9: Bisikan dari Kedalaman

Jalan setapak dari air yang mengeras membawa Mbarep semakin jauh dari tepi danau. Setiap langkahnya menimbulkan riak biru di permukaan, dan suara gemericik air di sekitarnya tidak seperti air biasa—ada nada musik gamelan yang samar, seolah setiap tetes air menyimpan melodi kuno.

Saat ia hampir mencapai pulau di tengah danau, kabut mulai menebal. Tidak seperti kabut biasa yang dingin dan lembap, kabut ini hangat dan berbau kemenyan. Udara menjadi berat, dan Mbarep merasakan ada sesuatu yang mengawasi dari dalam kegelapan.

Tiba-tiba, jalan setapak di hadapannya mulai bergoyang pelan, seperti riak yang bangkit dari kedalaman. Air yang sebelumnya tampak beku, jernih seperti kristal kaca, kini beriak liar, menciptakan pusaran kecil yang menyebar dari titik tengah. Gelembung-gelembung naik ke permukaan, meletup satu per satu dengan suara lirih, disusul oleh bisikan-bisikan samar dari dasar danau—seolah air itu sendiri menyimpan ingatan dan luka yang belum selesai.

“Mbarep…”

Suara itu familiar. Suara ibunya yang sudah meninggal tiga tahun lalu.

“Mbarep, kenapa kamu meninggalkan teman-temanmu? Kenapa kamu egois?”

Mbarep berhenti melangkah. Jantungnya berdebar keras. Ia tahu ini adalah ujian pertama—menghadapi ketakutan terdalam. Tapi mendengar suara ibunya yang sudah lama ia rindukan membuat dadanya sesak.

“Kamu selalu begini,” suara itu melanjutkan, kini semakin jelas. “Sejak kecil, kamu selalu merasa lebih tahu dari orang lain. Kamu menulis cerita, tapi kamu tidak pernah mendengarkan cerita orang lain.”

Dari kabut, sosok ibunya muncul perlahan, seakan tercipta dari kabut itu sendiri. Wajahnya persis seperti yang Mbarep ingat, namun terasa seperti kenangan yang baru saja terangkat dari masa lalu. Pipi bundarnya yang dulu sering menempel hangat di pelukannya kini tampak sedikit lebih tirus, namun tetap memancarkan keteguhan. Alisnya yang sedikit melengkung memberi kesan ketegasan, tapi garis-garis lembut di sudut matanya masih menyimpan kehangatan seorang ibu yang selalu hadir dalam diam. Bibirnya, yang sering tersenyum sabar kala menunggu Mbarep pulang dari warnet, kini terkatup rapat. Dan matanya—mata yang selama ini jadi tempat Mbarep mencari ketenangan—kini memandangnya dengan sorot yang menyayat hati: kecewa, namun bukan tanpa cinta. Pandangan itu seperti pelukan yang hangus; tetap hangat, tapi membakar dari dalam.

“Ibu…” bisik Mbarep.

“Kamu tahu kan, nak, bahwa semua yang terjadi sekarang adalah karena tulisanmu? Kamu yang menciptakan dunia mengerikan ini. Kamu yang membuat jutaan orang menderita.”

Sosok ibunya melangkah mendekat, kakinya menginjak permukaan air seolah itu adalah tanah padat. “Dan sekarang, kamu meninggalkan teman-temanmu lagi, demi kepentinganmu sendiri.”

Mbarep mundur selangkah, tapi jalan setapaknya semakin menyempit. “Ibu, aku… aku cuma ingin mendapatkan kekuatan untuk melindungi mereka.”

“Melindungi?” Sosok ibunya tertawa pahit. “Atau ingin menjadi pahlawan seperti di cerita-ceritamu? Kamu selalu ingin jadi tokoh utama, Mbarep. Tapi kamu lupa, tokoh utama sejati tidak meninggalkan teman-temannya.”

Dari kabut, sosok-sosok lain mulai bermunculan satu per satu, seolah ditarik dari lorong kenangan yang terdalam. Pertama, ayahnya—berdiri kaku dengan sorot mata tajam yang dulu hanya sesekali ditujukan padanya. Wajahnya dipenuhi garis-garis usia, tetapi tegas dan dingin, dengan kumis tipis yang sama seperti terakhir kali Mbarep melihatnya di rumah sakit. Di sampingnya muncul kakeknya, mengenakan blangkon dan baju lurik, tatapannya teduh namun penuh penilaian, seolah sedang menguji cucunya seperti saat kecil diajarkan membaca aksara Jawa. Lalu, dari balik kabut yang lebih tipis, muncul teman-teman kuliahnya—mereka berdiri dalam kelompok, dengan ekspresi mencemooh dan tangan bersilang di dada.

“Mbarep yang sombong,” kata salah satu teman kuliahnya. “Kamu pikir tulisanmu bagus? Lihat sekarang, tulisanmu jadi kenyataan dan dunia hancur.”

“Kamu tidak pantas jadi penulis,” tambah yang lain. “Kamu hanya anak yang bermimpi terlalu tinggi.”

Sosok ayahnya yang jarang berbicara semasa hidup kini berkata dengan suara dingin, “Aku malu punya anak seperti kamu, Mbarep. Kamu tidak bisa melindungi siapa-siapa.”

Mbarep jatuh berlutut di tengah jalan setapak. Air mulai meresap masuk, membasahi celananya. Suara-suara itu terus berdengung di telinganya, semakin keras, semakin menyakitkan.

“Kalian benar,” bisiknya, nyaris tak terdengar, seperti suara napas terakhir dari nyala lilin yang padam. Tubuhnya gemetar, bahunya turun seolah dunia menimpanya sendirian. Matanya memerah, bukan hanya karena air mata yang tertahan, tapi karena lelah yang menumpuk—lelah menyalahkan diri sendiri, lelah merasa tak cukup baik. “Aku memang egois… Aku memang sombong… Aku memang tidak pantas…” Kalimatnya terputus, suaranya patah seperti ranting rapuh yang diinjak. Pandangannya buram, bukan cuma karena air mata, tapi karena pikirannya penuh rasa sesal yang menyesakkan. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar menindih, membuatnya sulit bernapas. Ia merasa hampa, seperti bayangan yang tak punya bentuk, seperti tulisan yang dihapus sebelum sempat dibaca. Ia tidak lagi yakin dirinya bisa berubah. Tidak lagi yakin kalau ia layak diberi kesempatan kedua.

Namun, saat keputusasaan hampir menguasainya sepenuhnya, ia teringat pada wajah Lydia saat mengucapkan selamat tinggal tadi pagi. Mata perempuan itu penuh kekhawatiran, tapi juga kepercayaan. Ia percaya bahwa Mbarep akan kembali.

Ia teringat pada Kirana yang rela bisa percaya pada omong kosong Mbarep saat pertama bertemu. Arya dan Bima yang tanpa ragu melindungi rekan-rekan yang lebih lemah. Raditya yang meski takut, tetap berusaha berkontribusi.

“Kalian salah,” kata Mbarep pelan, suaranya bergetar namun mulai menguat.

Sosok-sosok itu berhenti berbicara.

“Aku memang egois. Aku memang sombong. Tapi aku tidak menulis cerita ini untuk menyakiti siapa pun.” Mbarep perlahan berdiri. “Aku menulis cerita ini karena aku percaya bahwa orang biasa bisa menjadi luar biasa. Bahwa kebersamaan bisa mengalahkan keputusasaan.”

Sosok ibunya melangkah mendekat. “Tapi lihat apa yang terjadi sekarang, nak.”

“Ya, dunia menjadi mengerikan,” jawab Mbarep. “Tapi aku juga melihat bagaimana Raditya yang tadinya penakut menjadi berani. Bagaimana Kirana yang tadinya tertutup menjadi strategis yang menyelamatkan nyawa. Bagaimana Arya dan Bima yang tadinya hanya berlatih silat menjadi pelindung.”

Ia menghadap sosok ibunya. “Dan ya, aku memang meninggalkan mereka. Tapi bukan karena aku tidak peduli. Aku pergi karena aku tahu bahwa untuk melindungi mereka, aku butuh kekuatan yang lebih besar.”

Air di sekelilingnya mulai berubah warna, dari gelap menjadi biru jernih.

“Aku menerima tanggung jawab sebagai penulis cerita menyedihkan ini,” lanjut Mbarep dengan suara yang semakin mantap. “Tapi aku tidak akan membiarkan rasa bersalah menghentikanku dari upaya memperbaiki yang bisa diperbaiki.”

Sosok-sosok itu perlahan menghilang, seperti bayangan yang larut dalam cahaya pagi. Wajah-wajah yang semula begitu jelas kini menjadi samar, seolah terurai oleh angin lembut yang meniup kabut pagi. Langkah mereka surut tanpa suara, tubuh mereka larut ke dalam udara, meninggalkan jejak hampa yang hanya terasa di dada. Seakan semua itu hanya potongan mimpi buruk yang pelan-pelan luntur di bawah sinar harapan yang mulai merekah di hati Mbarep.

“Aku akan kembali kepada mereka,” kata Mbarep dengan keyakinan penuh. “Dan aku akan melindungi mereka dengan kekuatan yang aku dapatkan di sini.”

Saat ia mengucapkan kata-kata itu, kabut menyurut sepenuhnya. Jalan setapak kembali stabil, dan pulau di hadapannya tampak lebih jelas. Di tengah pulau, sebuah kuil kuno berdiri dengan megah, dikelilingi oleh lima pilar batu.

[Ujian Pertama Selesai]

Kemampuan Baru Diperoleh: [Keteguhan Mental]

Tipe Bakat Berkembang: Peringkat saat ini C+

Deskripsi: Resistensi terhadap serangan psikologis dan ilusi meningkat 20%

Status: Akses ke Kuil Harmoni terbuka

Mbarep mengambil napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih cepat. Ia menatap air danau yang kini kembali tenang, seolah baru saja menutup lembaran mimpi buruk. Ia menyadari, semua yang ia lihat dan rasakan tadi—suara ibunya, sosok ayah dan kakek, hingga wajah teman-temannya—hanyalah bagian dari ujian. Namun itu tidak membuatnya ringan. Justru sebaliknya, semua itu membuka luka dan penyesalan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

Ia menunduk, lalu berbisik pelan, “Terima kasih, Bu. Terima kasih, Pak. Mbah, teman-teman… Aku dengar kalian. Aku akan berubah, aku akan berjuang.”

Itu bukan sekadar ucapan penutup, tapi janji yang sungguh-sungguh keluar dari hatinya. Sebuah pengingat keras bagi dirinya sendiri, bahwa setiap pilihan selalu membawa akibat. Dan sekarang, ia memilih untuk tidak lagi lari. Ia memilih untuk bertanggung jawab, apa pun resikonya.

Konstelasi [#!%26@&912!] mengangguk dengan keputusanmu dalam ujian ini.

Dengan langkah yang lebih mantap, ia menapaki jalan menuju pulau. Kabut telah memudar, dan kuil tua dengan lima pilar batu tampak menjulang kokoh di kejauhan—menunggu, seperti penjaga waktu yang akan menguji lagi tekad dan keyakinannya.


Komentar


📱

Install Aksara Karsa

Akses lebih cepat dan nikmati pengalaman membaca yang lebih baik