Chapter 2: Sistem Baru
Mbarep memandangi punggung Lydia yang menjauh, perasaan hangat dan sedih bercampur di dadanya. Mereka berdua sama-sama dewasa sekarang, sama-sama punya beban masing-masing. Tapi entah kenapa, cara Lydia mengacak rambutnya tadi mengingatkan Mbarep pada masa-masa yang lebih sederhana.
Ia menarik napas panjang, lalu bergumam, “Status.”
Seketika, jendela transparan muncul di udara.
> Nama: Mbarep Kusuma
> Umur: 27 Tahun
> Kelas: Belum ditentukan
> Level: 1
> Skenario Aktif: 0
> Shop: Belum Aktif
> Sponsor: -
...... gulir ke bawah untuk melanjutkan ......
Saat ia mengamati panel itu, pandangannya tanpa sadar tertuju pada seorang pemuda di seberang aula yang sedang gelisah mondar-mandir. Tiba-tiba, tanpa ia sadari, sebuah jendela informasi muncul begitu saja di hadapannya:
> Nama: Danu Prasetya
> Umur: 20 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum Ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Nafas Ketujuh
> Deskripsi: Mantan atlet lari tingkat kabupaten. Saat stamina di bawah 10%, kecepatan tubuhnya meningkat secara refleks. Namun setelahnya tubuh menjadi lemas.
Mbarep tersentak, mundur dari bangku. “Apa—apa ini?”
Ia menutup mata dan menggelengkan kepala, berharap panel itu hilang. Saat membuka mata, panel tersebut memang sudah lenyap. Ia menatap sekeliling dengan bingung, memastikan tidak ada orang lain yang melihat reaksinya.
“Halusinasi?” gumamnya sambil mengusap mata. “Mungkin aku terlalu lelah…”
Sepuluh menit kemudian, rasa penasaran mengalahkan keraguan. Mbarep mencoba memfokuskan pandangannya lagi ke arah pemuda yang sama, kali ini dengan sengaja.
Tidak terjadi apa-apa.
Ia mencoba berkonsentrasi lebih dalam, mengingat sensasi saat panel itu muncul tadi. Masih tidak ada yang terjadi.
“Mungkin memang halusinasi,” desahnya.
Tapi kemudian, tanpa sengaja, pandangannya beralih ke seorang perempuan muda di logistik. Saat ia benar-benar memperhatikan perempuan itu—bukan sekadar melihat, tapi mengamati dengan fokus—panel informasi kembali muncul:
> Nama: Alifa Nadira
> Umur: 25 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum Ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Sentuhan Dingin
> Deskripsi: Relawan logistik. Suhu tubuhnya sedikit lebih rendah dari rata-rata, membuatnya dapat memperlambat pembusukan makanan dan membantu mengurangi sakit area luka secara alami.
Kali ini Mbarep tidak mundur. Ia justru menatap panel itu dengan intens, jantungnya berdebar kencang. “Ini… ini beneran. Aku bisa lihat data mereka.”
Namun seketika rasa bersalah menyerangnya. Ia merasa seperti sedang mengintip privasi orang lain tanpa izin. Dengan cepat ia mengalihkan pandangan, dan panel itu hilang.
“Ini salah,” bisiknya pada diri sendiri. “Rasanya kayak… baca diary orang lain tanpa izin.”
Mbarep berjalan menjauh dari kerumunan, mencari tempat sepi untuk memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia bersandar di tiang penyangga tenda, mencoba mengecek jendela statusnya lagi.
Ia menatap tulisan - tulisan pada jendela status tersebut dalam diam. Lalu, seperti penasaran, ia menyentuh ikon huruf kecil di pojok kanan atas jendela itu. Sebuah panel informasi baru terbuka, menjelaskan berbagai elemen satu per satu.
Bakat: Belum Bangkit (Tersegel) - Level Belum Cukup
Kemampuan Unik – Mata Penulis:
> Memungkinkan pengguna untuk melihat data status, bakat pasif, dan latar belakang penantang lain secara detail, seperti membaca draft karakter dalam naskah.
Mbarep mengernyit. “Bakat tersegel…? Sungguh aneh”
Ia menatap tulisan berikutnya, ‘Mata Penulis’. “Jadi ini maksudnya…”
Ia mengaktifkan status window-nya lagi dan membaca deskripsi kemampuan itu lebih teliti:
Kemampuan Unik – Mata Penulis:
> Memungkinkan pengguna untuk melihat data status, bakat pasif, dan latar belakang penantang lain secara detail, seperti membaca draft karakter dalam naskah.
“Seperti membaca draft karakter…” Mbarep mengerutkan dahi. “Maksudnya, aku bisa ‘baca’ orang lain kayak karakter novel?”
Ia teringat pada proses menulisnya dulu. Bagaimana ia menciptakan profil karakter dengan detail—nama, umur, latar belakang, kepribadian, bahkan trauma masa lalu. Sekarang ia bisa melakukan hal yang sama pada orang sungguhan.
“Tapi… apa hakku?” bisiknya, konflik moral mulai menggerogotinya. “Mereka kan bukan karakter buatanku. Mereka orang sungguhan dengan kehidupan dan rahasia masing-masing.”
Di satu sisi, kemampuan ini bisa sangat berguna untuk strategi tim. Ia bisa tahu kekuatan dan kelemahan rekan atau lawan. Tapi di sisi lain, ini terasa seperti pelanggaran privasi yang serius.
Ia memutuskan untuk mencoba sekali lagi, dengan niat yang berbeda. Kali ini bukan karena penasaran, tapi untuk memahami batas-batas kemampuannya.
Ia mengamati seorang pria paruh baya yang duduk sendirian di sudut. Pria itu terlihat sedih dan gelisah. Panel muncul:
> Nama: Sukarno Wijaya
> Umur: 47 tahun
> Level: 1
> Kelas: Belum Ditentukan
> Sponsor: -
> Bakat Pasif: Daya Tahan Emosional
> Deskripsi: Pemilik warung nasi gudeg yang kehilangan keluarga saat menara muncul. Meski terpukul berat, ini merupakan kemampuan untuk tetap berfikir logis dalam situasi traumatis.
Informasi itu membuat dada Mbarep sesak. Ia bisa merasakan beban penderitaan pria itu hanya dari membaca beberapa baris kalimat. Ini bukan sekadar data—ini adalah luka nyata seseorang.
“Ini… terlalu personal,” bisiknya, mengalihkan pandangan dengan cepat. “Aku nggak berhak tahu hal seperti ini.”
Mbarep kembali ke bangku kayunya, duduk dengan kepala tertunduk. Dalam hatinya, ia mulai menetapkan aturan-aturan untuk penggunaan kemampuan ini:
“Pertama,” gumamnya dalam hati, “aku nggak akan pakai ini untuk kepo atau gossip. Kedua, aku cuma akan pakai kalau memang penting untuk tujuanku bukan hanya iseng saja. Ketiga… aku nggak akan pernah cerita detail personal orang lain ke siapa pun.”
Ia mengangkat kepala, menatap sekitar shelter dengan perspektif baru. Setiap orang di sini punya cerita, punya luka, punya rahasia. Dan entah kenapa, ia diberi kemampuan untuk “membaca” mereka.
Mbarep duduk diam, memandangi antarmuka yang melayang di udara. Semua ini… sistem, tower, kemampuan aneh—terlalu mirip dengan isi naskah yang pernah ia tulis. Rasanya seperti melihat pikirannya sendiri dihidupkan paksa. Kemampuan “Mata Penulis” tidak lagi terasa seperti hadiah yang menggembirakan, melainkan seperti beban moral yang berat.
“Semua orang di sini punya cerita,” bisiknya sambil memandangi kerumunan penantang. “Dan entah kenapa, aku bisa baca cerita mereka semua. Tapi yang penting bukan apa yang aku tahu… melainkan apa yang aku lakukan dengan pengetahuan itu.”
Ia menghela napas pelan, jemarinya mengepal ringan di atas lutut. Pandangannya kosong, namun otaknya terus bekerja, menelusuri kembali percakapan singkatnya dengan Juru Ghaib. Bahwa dirinya—Mbarep Kusuma—adalah Tokoh Utama dari Skenario Nusantara.
Ia menunduk, menatap lantai yang retak-retak di bawah kakinya. Dalam benaknya, satu kalimat dari draft novelnya kembali terngiang:
“…dan pada akhirnya, tim terakhir umat manusia gagal menyelesaikan tantangan terakhir Menara Utama …”
Alisnya mengerut. Ia mengingat betul bagaimana ia menulisnya. Dengan sengaja ia selalu suka menekan karakternya, mendorong mereka sampai batas akhir, hanya untuk melihat bagaimana mereka bertahan.
Sekarang, ia tak lagi menulis kisah itu. Ia menjalaninya.
Mbarep menarik napas panjang, telapak tangannya menutupi wajah yang mulai lelah. Dari luar, ia tampak tenang, tapi dadanya terasa sesak—seperti ada beban berat yang mengendap dan tidak bisa dikeluarkan.
Matanya kembali tertuju pada panel status yang masih melayang di hadapannya. Perlahan, ia bangkit dari duduk. Meski kakinya masih terasa berat dan langkahnya belum mantap, untuk pertama kalinya sejak dunia terbalik, ia merasakan kepastian yang mengalir dalam dirinya:
Ia tidak akan membiarkan cerita ini berakhir seperti yang pernah ia tulis.