Skip to content
Go back
Content Protected

Chapter 12 - Ujian Kuil Harmoni (II)

 •  8 menit waktu membaca

Chapter 12: Ujian Kuil Harmoni (II)

Kristal kedua di genggaman Mbarep terasa dingin, sebuah penanda bisu atas kemenangannya dalam kesedihan yang berhasil diikhlaskannya. Setelah berhasil melewati ujian Tanah dan Air, ia merasa sedikit lebih percaya diri, seolah ia mulai memahami ritme dari domain misterius ini. Ia melangkah maju, meninggalkan sungai yang kini tenang, menuju lorong berikutnya yang mengarah pada pilar ketiga dan keempat. Namun, kali ini tidak ada dua lorong yang terpisah. Hanya ada satu jalan setapak yang membentang ke depan, sebuah jalan yang auranya terasa kacau, seolah dua kekuatan yang saling bertentangan bertemu di sana.

Jalan setapak itu sendiri adalah sebuah keanehan. Lantainya terbuat dari lempengan batu basal hitam yang panas seperti di dekat tungku api, namun di atasnya melayang-layang ribuan lembar kertas usang yang beterbangan ditiup angin kencang yang datang dari ketiadaan. Udara di sekitarnya terasa kering dan panas, namun juga membawa bau ozon yang tajam dan wangi kertas tua yang lembap. Ini adalah perpaduan yang tidak wajar antara elemen Angin dan Api.

Di ujung jalan, berdiri dua pilar sekaligus, saling berhadapan dalam jarak beberapa meter. Pilar Angin yang terbuat dari kristal perak tembus pandang, dan Pilar Api yang berpendar merah jingga seperti bara hidup. Di antara kedua pilar itu, energi bergolak hebat, menciptakan pusaran angin panas yang dipenuhi serpihan abu dan aksara-aksara yang terbakar.

Mbarep tahu, ujian kali ini tidak akan sederhana. Ia berjalan perlahan di atas batu panas, dan saat ia mencapai titik tengah jalan setapak, angin di sekitarnya tiba-tiba berhenti. Kertas-kertas yang tadinya beterbangan kini melayang diam di udara, sebelum akhirnya berkumpul di hadapannya, membentuk sebuah panel persegi yang menampilkan sebuah teka-teki dalam bentuk tembang Macapat Pocung.

[Ujian Harmoni Ketiga & Keempat Dimulai]
[Ujian Awal: Ujian Nalar Sang Angin]

Bapak Pocung, dudu watu dudu gunung
Sangkane ing sebrang,
Ngon-ingone sang Bupati,
Yen lumaku, si Pocung lambeyan grana.

[Jawablah dengan satu kata untuk menenangkan angin.]

Mbarep mengenali cangkriman klasik ini. Ini adalah ujian pengetahuan, gerbang sebelum ia menghadapi inti dari badai di hadapannya. Ia menarik napas, mencoba fokus.

“Baiklah, tenang,” gumamnya pada diri sendiri. Ia mulai mengurai makna baris per baris dengan tenang.

“Bapak Pocung, dudu watu dudu gunung…” (Bapak Pocung, bukan batu bukan gunung). “Oke, jadi ini bukan benda mati yang padat dan diam. Ia bisa bergerak.”

“Sangkane ing sebrang…” (Asalnya dari seberang). “Artinya bukan sesuatu yang asli dari sini. Bisa jadi impor, atau sesuatu yang datang dari tempat yang jauh.”

“Ngon-ingone sang Bupati…” (Peliharaan sang Bupati). “Di masa lalu, bupati adalah penguasa daerah. Jadi, ini pasti sesuatu yang berharga, simbol status, atau sesuatu yang hanya mampu dimiliki oleh orang penting.”

“Yen lumaku, si Pocung lambeyan grana…” (Jika berjalan, si Pocung melambaikan hidung). “Ini kunci utamanya. Grana itu hidung. Ada sesuatu yang ‘hidungnya’ bergerak naik-turun atau melambai saat ia berjalan.”

Pikirannya berpacu, mencoba menghubungkan semua petunjuk. Hewan apa yang besar, bukan asli Jawa, dimiliki pejabat, dan punya hidung panjang yang bergerak? Gambaran relief di candi-candi yang pernah ia pelajari melintas di benaknya. Seekor hewan besar dengan belalai panjang yang digunakan seperti tangan.

“Gajah!” serunya lantang. “Jawabannya adalah Gajah!”

Begitu kata itu terucap, panel kertas di hadapannya tercerai-berai. Angin yang tadinya tenang kini kembali mengamuk dengan kekuatan sepuluh kali lipat, seolah jawabannya yang benar telah membangunkan sesuatu yang tertidur. Pusaran angin panas di antara dua pilar berputar semakin kencang.

Panel ujian yang baru muncul, terbentuk dari api dan hembusan angin.

[Tema: Sabda Geni (Kata yang Terbakar)]
[Tugas: Hadapi manifestasi dari kekuatan dan tanggung jawabmu. Temukan inti dari badai ini dan tenangkanlah.]

“Sabda Geni…” bisik Mbarep. Kata yang Terbakar. Ia merasakan firasat buruk. Ujian nalar telah selesai, kini saatnya ujian jiwa.

Dari dalam pusaran itu, abu dan kertas mulai berkumpul, dipadatkan oleh kekuatan gaib. Tinta hitam mendidih dari lantai batu, merayap naik dan menyelimuti gumpalan itu.

Sesosok makhluk mulai terbentuk. Ukurannya setinggi Mbarep, tubuhnya terbuat dari lembaran-lembaran naskah yang terikat oleh angin puyuh. Setiap aksara yang tertulis di tubuh kertasnya menyala merah seperti bara api. Dari sela-sela lipatan tubuhnya, keluar asap dan percikan api. Lengan-lengannya adalah pusaran tinta mendidih yang bercampur dengan lahar. Wajahnya adalah pusaran aksara yang terbakar, dan dari intinya, bersinar dua mata yang menyala penuh amarah dan arogansi.

Ini adalah Avatar Sabda Geni.

“SANG PENCIPTA TELAH TIBA!” Suara makhluk itu adalah gema dari suara Mbarep, tetapi terdistorsi oleh derak api dan deru angin. “Datang untuk melihat kembali mahakaryamu? Datang untuk menikmati kembali tragedi yang kau tulis dengan penuh semangat?”

Avatar itu tidak langsung menyerang. Sebaliknya, ia mengangkat satu lengannya, dan kertas-kertas yang beterbangan di sekitar mereka berhenti. Kertas-kertas itu membentuk sebuah layar raksasa di hadapan Mbarep. Di layar itu, sebuah memori mulai terputar—memori yang sangat Mbarep kenal.

Itu adalah adegan dari bab terakhir yang ia tulis sebelum dunia runtuh.

...dan pada akhirnya, tim terakhir umat manusia gagal menyelesaikan tantangan terakhir Menara Utama...

Namun, sosok-sosok di dalam memori itu bukanlah karakter fiksi tanpa wajah yang ia bayangkan saat menulis. Wajah-wajah itu kini sangat nyata.

Ia melihat Lydia, berdiri paling depan, Tongkat sihir yang dipegangnya hancur berkeping-keping oleh satu pukulan monster raksasa. Matanya yang penuh tekad berubah menjadi keterkejutan, lalu kosong, saat cakar monster itu menembus dadanya.

Ia melihat Kirana, berteriak di belakang, buku sihirnya rusak, analisisnya tidak berguna di hadapan kekuatan brutal. Ia tersapu oleh gelombang energi dan tubuhnya menghantam pilar batu hingga remuk.

Ia melihat Arya dan Bima, bertarung bahu-membahu. Benteng Pertahanan Arya hancur, dadanya berlubang sempurna 360-derajat, dan Tangan milik Bima lenyap menahan nafas api dari monster raksasa. Setelah tak berdaya, keduanya ditelan oleh gerombolan makhluk yang tak terhitung jumlahnya, teriakan mereka tenggelam dalam hiruk pikuk pembantaian.

Ia melihat Raditya, yang telah menjadi jauh lebih berani, mencoba melindungi rekan - rekannya dengan tubuhnya. Tombaknya patah, Sikap Ksatria-nya hancur, dan ia lenyap dalam ledakan energi gelap.

Dan terakhir… ia melihat dirinya sendiri. Berdiri tak berdaya, Senjata di tangannya rusak, mata menatap kosong saat gelombang kehancuran menyapunya hingga tak bersisa.

Memori itu berakhir. Layar kertas itu hancur menjadi abu.

“TIDAK!” Mbarep menjerit, suaranya pecah. Ia jatuh berlutut, tangannya mencengkeram kepala. “ITU TIDAK NYATA! ITU HANYA CERITA! ITU BUKAN MEREKA!”

Avatar Sabda Geni mendekat, panas dari tubuhnya terasa menyiksa. “BUKAN MEREKA?” raungnya, suaranya kini penuh cemoohan. “Tapi kau yang menuliskannya! Kau yang menginginkan akhir seperti itu! Kau merangkai setiap kata dari penderitaan mereka! Kau menikmati setiap detiknya, bukan? Menganggapnya sebagai sebuah puncak tragedi yang indah!”

“TIDAK! AKU TIDAK BERMAKSUD BEGITU!” Mbarep berteriak dalam penyangkalan total. Keringat dingin bercucuran di wajahnya. “Itu hanya… fiksi.”

“FIKSI?” Avatar itu tertawa, suara kertas terbakar terdengar mengerikan. “LIHAT SEKELILINGMU, PENULIS! DUNIAMU ADALAH FIKSIMU! Setiap napas yang kau hirup adalah hasil dari tintamu! Dan di dalam hatimu yang paling dalam, kau menginginkan akhir yang tragis itu karena kau pikir itu membuatmu menjadi penulis yang hebat! Seorang seniman sejati!”

Avatar itu mengangkat lengannya yang terbuat dari lahar. “Sekarang, hadapi senimu. Hadapi api dari ambisimu sendiri!”

Makhluk itu menyerang dengan brutal. Setiap serangannya kini tidak hanya membawa kekuatan fisik, tetapi juga beban psikologis. Setiap sabetan cambuk lahar seolah membawa bayangan kematian Lydia. Setiap ayunan pedang api seolah membawa jeritan Kirana.

Mbarep bertarung dengan membabi buta, didorong oleh penyangkalan dan kengerian. Ia tidak lagi berpikir taktis. Ia hanya ingin manifestasi mengerikan ini lenyap.

“ITU BOHONG! ITU TIDAK AKAN TERJADI!” teriaknya sambil menangkis serangan.

“Oh, ya? Bagaimana kau bisa begitu yakin?” balas Avatar itu, terus mendesak Mbarep. “Takdir sudah tertulis. Oleh tanganmu sendiri. Kau adalah nabinya, sekaligus algojonya.”

Kata-kata itu menyadarkan Mbarep. Jika ia adalah penulisnya, maka ia juga yang punya kekuatan untuk mengubahnya. Penyangkalannya yang panik berubah menjadi tekad yang dingin dan membara. Ia tidak akan membiarkan visi itu menjadi kenyataan.

Ia berhenti menghindar. Ia menancapkan tombaknya ke tanah, mengambil kuda-kuda yang kokoh. “Kau benar,” katanya, menatap lurus ke mata api Avatar itu. “Aku adalah penulisnya.”

Avatar itu tampak terkejut dengan perubahan nada Mbarep.

“Tapi itu artinya,” lanjut Mbarep, suaranya kini mantap dan penuh dengan amarah yang benar, “AKU YANG MEMUTUSKAN BAGAIMANA CERITA INI BERAKHIR!”

Ia mencabut tombaknya dan memegangnya dengan kedua tangan. Ia tidak akan menyerang Avatar itu. Ia akan menyerang sumbernya. Sumber dari semua kekuatan dan kutukannya. Dengan seluruh sisa kekuatannya, ia melemparkan tombak itu, bukan ke arah Avatar, melainkan ke arah pusaran energi di antara dua pilar di belakangnya.

“CUKUP!” teriaknya.

Tombak itu melesat seperti anak panah, menembus Avatar Sabda Geni—yang ternyata hanyalah proyeksi—dan menghantam tepat di jantung pusaran energi.

BOOOOOOM!

Sebuah ledakan dahsyat mengguncang seluruh ruangan. Pusaran itu pecah, melepaskan gelombang energi angin dan api ke segala arah. Mbarep terlempar dan tubuhnya menghantam dinding dengan keras. Pandangannya kabur, telinganya berdenging.

Konstelasi [#!%26@&912!] kecewa dengan pilihanmu. 

Saat ia berhasil mengangkat kepalanya, ia melihat Avatar itu telah lenyap. Pilar Angin dan Pilar Api kini bersinar dengan cahaya yang stabil. Dan di tengah-tengahnya, melayang dua buah kristal: satu berwarna perak jernih, satu lagi berwarna merah delima.

Dengan tubuh yang sakit, Mbarep berjalan tertatih-tatih dan mengambil kedua kristal itu.

[Harmoni Elemen Angin & Api Tercapai.]
[Kristal Ketiga & Keempat telah diperoleh.]
[Anomali dalam penyelesaian Ujian Terdeteksi]
[Peringatan: Tindakan Anda yang tidak lazim telah mengganggu stabilitas domain.]

Getaran hebat kembali mengguncang kuil, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Mbarep tahu ia harus bergegas. Hanya tersisa satu ujian. Ujian yang paling sunyi, dan paling mematikan.


Komentar


📱

Install Aksara Karsa

Akses lebih cepat dan nikmati pengalaman membaca yang lebih baik