Chapter 11: Ujian Kuil Harmoni (I)
Hembusan udara dingin menyambut Mbarep saat ia menapaki gerbang batu yang dipahat naga. Sengatan aroma damar dan kemenyan menguar samar, berpadu dengan bau tanah basah setelah hujan—tapi terasa lebih pekat, lebih mistis.
Begitu masuk, dadanya serasa terhenti sesaat. Aula raksasa ini ternyata jauh lebih luas daripada yang ia bayangkan: lantai andesit hitam terbentang sampai ke seberang, dihiasi ukiran janur membentuk Cakra Manggilingan, (*simbol lingkaran kehidupan dalam kosmologi Jawa - kamu dapat browsing untuk detail lengkapnya). Setiap lekuk ukiran terlihat berpendar lembut, menandakan ada energi gaib yang mengalir di balik batu.
Dinding-dinding aula menjulang tinggi, dihiasi relief batik mega mendung yang tampak bergerak-gerak dalam cahaya redup. Pola awan dan kilat terukir dengan detail luar biasa, menciptakan ilusi bahwa badai spiritual sedang mengamuk di dalam batu. Langit-langit berbentuk kubah, dipenuhi lampu minyak tradisional yang tergantung tersusun rapi seperti bintang buatan. Cahaya kebiruan yang dipancarkan lampu-lampu itu tidak seperti api biasa—lebih tenang, lebih sakral, seperti cahaya yang dipancarkan oleh air yang sangat jernih di bawah sinar bulan.
Di kelima sudut aula, berdiri lima pilar raksasa—pilar tanah, air, angin, api, dan kehampaan—masing‑masing sekitar tiga meter tinggi. Bahan dan auranya berbeda, membuat tiap sudut terasa seperti tempat yang benar‑benar hidup.
Pilar Tanah (Tenggara) Terbuat dari tanah liat yang dipadatkan, warnanya cokelat tua dengan tekstur kasar. Setiap goresan terasa hangat saat disentuh, seperti menyentuh urat nadi bumi.
Pilar Air (Timur Laut) Tampak seperti aliran air yang membeku jadi batu jernih. Cahaya biru mengalir perlahan di dalamnya, memunculkan citra sungai purba yang mengingatkan pada irama air terjun di lembah terpencil.
Pilar Angin (Barat Laut) Bahan kristalnya berwarna perak keramahan, seakan melayang sekitar lima sentimeter di atas pondasinya. Di sekitarnya udara berputar pelan—desir tanpa suara, membawa sensasi ringan seperti bulu kapas.
Pilar Api (Barat Daya) Berpendar merah jingga, bagai bara hidup yang tidak pernah padam. Panasnya terasa sampai ujung jari, tapi tidak menyengat—lebih seperti sentuhan hangat dalam pelukan malam.
Pilar Kehampaan (Selatan) Warnanya hitam pekat, menyerap semua cahaya di sekitarnya. Dekat pilar ini, sukar membedakan bayangan dan ruang kosong, menciptakan kesan hampa yang mendalam.
Dari tengah udara, terdengar alunan gamelan yang aneh. Bukan seperti gamelan biasa yang dimainkan dalam upacara atau pertunjukan wayang. Ini lebih primitif, lebih kuno, seolah dimainkan oleh kekuatan alam sendiri. Lima nada dasar slendro bergema berulang-ulang: ding — ndang — ding — ndong — deng. Setiap nada mewakili satu elemen, menciptakan harmoni yang membuat tulang belakang Mbarep bergetar dengan frekuensi yang tidak familiar namun menenangkan.
Mbarep menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdetak seperti kendang perang. Saat ia melangkah lebih dalam, tiba‑tiba, di depan matanya, udara berpendar menampilkan panel jendela status:
[ Ujian Kedua Dimulai ]
Nama : Harmoni Lima Elemen
Tujuan : Aktifkan kelima pilar sesuai urutan
Petunjuk : Ikuti kisah transformasi dari keangkuhan ke pencerahan
Peringatan : Urutan salah dapat memicu gangguan spiritual
Hukuman : Serangan dari Penjaga Elemen
Waktu : Tak terbatas
Lampu‑lampu minyak di atasnya bergetar halus, menciptakan bayangan yang menari—seolah menyambut tantangan. Mbarep menelan ludah, lalu mengangkat pandangan ke pilar-pilar yang mengelilinginya.
Ia mengingat kembali legenda Baru Klinting yang ia tulis dalam novelnya. Menurut ceritanya, Baru Klinting murka pada penduduk desa Pathok karena kesombongan dan ketiadaan empati mereka. Transformasi dari keangkuhan menuju pencerahan—itu harus menjadi kunci untuk memahami urutan yang benar.
“Tanah dulu,” gumamnya pelan, suaranya bergema dalam ruangan besar. “Melambangkan desa yang sombong dan keras kepala, yang harus diruntuhkan terlebih dahulu sebelum dapat dibangun kembali.”
Ia melangkah mendekati pilar pertama, merasakan bagaimana lantai andesit yang dingin berubah menjadi lebih hangat seiring dengan kedekatan dengan elemen tanah. Setiap langkah menimbulkan riak cahaya pada ukiran Cakra Manggilingan, seolah energi spiritualnya sedang diukur dan dievaluasi oleh kekuatan kuno yang bersemayam di tempat ini.
Pilar tanah menjulang di hadapannya seperti monolit kuno yang menyimpan rahasia peradaban yang hilang. Permukaannya tidak rata—terdiri dari lapisan-lapisan tanah liat yang berbeda warna, dari cokelat muda di bagian atas hingga hitam pekat di bagian bawah, seperti profil tanah yang menunjukkan sejarah geologis ribuan tahun. Ukiran naga Antaboga melingkar di sekeliling pilar, dengan mata yang terbuat dari batu akik merah yang berkilau dalam cahaya redup.
Begitu Mbarep melangkah dalam radius tiga meter dari pilar, gong perunggu raksasa entah dari mana menggelegar. Suaranya begitu dalam dan kuat sehingga Mbarep merasakan getarannya di tulang rusuk. Lantai di bawah kakinya mulai retak, namun bukan retakan yang mengerikan—melainkan pola yang teratur, menyerupai retakan tanah sawah yang kering di musim kemarau, namun subur dan siap ditanami.
Dari celah-celah tersebut menguar aroma tanah basah yang sangat kental, bercampur dengan bau jerami dan pupuk alami. Mbarep menutup mata sejenak, teringat pada masa kecilnya di desa ketika ia membantu kakek di sawah. Ada sesuatu yang sangat fundamental dan menenangkan dari bau tanah yang subur—seperti kembali ke asal mula kehidupan.
Empat prasasti batu tiba-tiba jatuh dari pilar, mendarat dengan suara gedebuk yang keras di depan kaki Mbarep. Setiap prasasti berukuran sekitar 30x30 sentimeter, tebal lima sentimeter, dan terasa sangat berat ketika ia mengangkatnya. Pada permukaan masing-masing prasasti terukir satu aksara Jawa kuno yang berkilau dengan cahaya emas: HA, NA, CA, RA.
“Hanacaraka,” bisik Mbarep, mengingat pelajaran aksara Jawa yang ia pelajari di sekolah dulu. Ini adalah huruf-huruf pertama dari abecedarian Jawa, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam sebagai mantra suci.
Ia mencoba mengingat urutan yang benar. Tembang kuno yang diajarkan kakeknya dulu bergema di memori:
Hana caraka,
Data sawala,
Padha jayanya,
Maga bathanga.
Setiap kali ia meletakkan prasasti pada urutan yang salah, retakan di lantai terbuka lebih lebar, mencoba menelan kakinya. Tanah lengket dan dingin mulai merambat naik ke betis, seperti tangan-tangan tak terlihat yang berusaha menariknya ke dalam bumi.
Meski Mbarep hafal urutannya, mbarep masih kesusahan dikarenakan ingatan Mbarep akan aksara jawa ini lemah, dan bergumam kenapa dulu sering membolos pelajaran Bahasa Jawa, dia tidak tahu ternyata aksara jawa ini akan menyelamatkan hidupnya.
Setiap kesalahan, tanah tersebut terus berusaha menariknya, tak sadar tanah sudah menjepit pergelangan kaki, sejuk dan berat seperti belenggu. Kemudian Mbarep juga masih salah mengurutkan aksara lagi, tanah kemudian mencapai lutut—sensasi tertarik semakin kuat untuk menenggelamkan Mbarep.
Pada saat sudah pasrah, Mbarep teringat memori bermain tanah dengan Ayahnya. “Ayah selalu bilang, ‘Tanah ini guru terbaik—besar beban, selalu menanggung, tapi tak pernah mengeluh’.”
Akhirnya ia meletakan prasasti terakhir “RA” pada posisi yang benar pada bacaan tembang kuno tersebut. Seketika tanah retak dibawah Mbarep mulai tertutup rapi. Tanah yang menempel di kakinya berubah menjadi debu emas yang berterbangan, meninggalkan sensasi hangat dan menenangkan.
Namun ujian belum selesai.
Debu emas berkumpul di tengah area, berputar-putar membentuk tornado kecil. Perlahan, debu itu memadat, membentuk sosok yang membuat jantung Mbarep berdenyut kencang—sebuah golem tanah berwajah dirinya sendiri di usia sepuluh tahun.
Golem itu tingginya sekitar satu meter, dengan rambut cepak yang terbuat dari rumput kering, mata dari batu obsidian yang berkilau, dan kaki telanjang yang belepotan lumpur. Yang paling mengganggu adalah ekspresi wajahnya—cemberut, keras kepala, dengan mata yang menyipit penuh kecurigaan. Ini adalah cerminan sifat masa kecil Mbarep yang paling ia tidak sukai dari dirinya sendiri.
Golem mengangkat tangan, dan dari tanah muncul palu batu raksasa yang hampir sebesar tubuhnya. Dengan gerakan yang mengejutkan cepat untuk sesuatu yang terbuat dari tanah, ia menghantam ke arah Mbarep.
Setiap pukulan palu disertai dengan gema suara—suara ibunya yang mengomelinya: “Kamu itu keras kepala! Selalu merasa paling benar!” Suara guru sekolahnya: “Mbarep, kenapa kamu selalu bertanya terus? Terima saja yang sudah diajarkan!” Suara teman-teman yang mengejeknya karena terlalu banyak membaca buku: “Sok pintar!”
Mbarep menangkis dengan tombak yang dimillikinya, saat mencoba menangkisnya tombak itu selalu bergetar setiap kali berbenturan dengan palu batu. Setiap benturan menimbulkan percikan energi biru dan cokelat yang menerangi aula dengan cahaya dramatis.
“Aku memang keras kepala,” kata Mbarep sambil melompat menghindari ayunan horizontal palu. “Tapi itu bukan berarti aku salah!”
Golem berputar, mengayunkan palu dari bawah ke atas. Mbarep menancapkan tombak ke tanah, menggunakan momentum untuk melompat ke belakang. “Keras kepala karena aku tahu apa yang benar. Keras kepala karena aku tidak mau menyerah pada hal yang susah!”
Ia mengingat semua momen dalam hidupnya ketika ia mempertahankan pendirian meskipun semua orang menentangnya. Ketika ia memilih jurusan sastra meski orangtua ingin ia masuk kedokteran. Ketika ia memutuskan menulis novel meski dianggap buang-buang waktu.
“Akarku bukan rasa bersalah,” serunya sambil mendorong palu golem dengan kedua tangan. “Akarku adalah tekad untuk melindungi yang aku sayangi!”
Energi biru mengalir dari tongkat tombak milik Mbarep, meresapi palu batu. Golem terdiam sejenak, mata obsidiannya menatap Mbarep dengan ekspresi yang berubah—dari kemarahan menjadi… pemahaman.
“Keras kepala bukan berarti jahat,” bisik Mbarep. “Kadang dunia membutuhkan orang yang keras kepala untuk mempertahankan kebaikan.”
Golem mengangguk perlahan, lalu runtuh menjadi gumpalan tanah subur. Dari gumpalan itu muncul sebuah kristal cokelat sebesar kepalan tangan, berkilau dengan cahaya emas yang hangat. Kristal itu berdenyut pelan, seperti jantung bumi yang berdetak dengan ritme kehidupan.
Mbarep mengambil kristal itu, merasakan kehangatan yang menyebar dari telapak tangan ke seluruh tubuh. Ini bukan hanya kekuatan—ini adalah pengakuan. Pengakuan bahwa akar keteguhannya, meski kadang terlihat sebagai keras kepala, adalah fondasi yang diperlukan untuk membangun sesuatu yang besar.
Panel status berkedip:
[Ujian Pilar Harmoni Elemen Tanah: Selesai]
[Kristal Pertama: Bumi – Akar Keteguhan]
[Progress: 1/5 Elemen Terkumpul]
Mbarep mengangkat kristal, merasakan fondasi baru di dadanya. Dari tanah, ia belajar: kadang, keteguhan yang keras kepala pun bisa menumbuhkan kehidupan. Setelah itu, mbarep memasukan kristal itu ke saku miliknya.
Tanah telah mengajarkannya tentang akar. Sekarang saatnya Mbarep belajar tentang aliran.
Langkah Mbarep berikutnya membawanya ke lorong yang terasa lebih sejuk. Lorong menuju pilar air berubah. Bukan lagi lorong batu yang dingin, melainkan sebuah tepi sungai yang tenang, airnya jernih memantulkan cahaya lampu minyak yang tergantung di langit-langit. Udara di sini lebih lembap, membawa aroma melati dan kemenyan yang samar, seperti sisa-sisa upacara lama yang belum benar-benar usai. Di tengah ruangan, di atas batu datar, terletak satu kendi tanah liat tua. Di permukaannya terukir aksara Jawa: “Luh”—air mata (dalam Bahasa Indonesia adalah Air Mata).
Mbarep melangkah perlahan, menatap kendi itu dengan hati-hati. Jendela notifikasi sistem melayang di udara:
[Ujian Pilar Air: Larung Kesedihan]
Tujuan: Penuhi kendi dengan air matamu sendiri, lalu larungkan ke sungai.
Catatan: Kesedihan yang diterima dengan ikhlas akan memenuhi kendi.
Ia duduk bersila di tepi sungai, kendi di pangkuan. Cahaya lampu minyak memantulkan bayangan wajahnya di permukaan air, samar dan bergetar. Ia menarik napas dalam, mencoba mengingat luka-luka lama yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Kilasan kenangan bermunculan—wajah ibunya yang telah tiada, suara ayahnya yang hilang dalam ingatan, teman-teman yang pernah ia kecewakan, penolakan cinta pertamanya yang bilang ingin melanjutkan kuliah S2, kegagalan yang ia sembunyikan di balik tawa. Air mata menetes, jatuh ke dalam kendi. Namun, setiap tetes yang jatuh selalu menguap, lenyap sebelum sempat mengisi dasar kendi.
Ia mencoba memaksa diri menangis lebih keras, mengorek luka yang sudah mengering, memanggil kembali rasa kehilangan yang dulu begitu menyakitkan. Tapi hasilnya tetap sama. Kendi tetap kosong.
Kemudian jendela notifikasi dari sistem muncul dihadapan Mbarep:
“Air mata yang tidak tulus tidak akan pernah memenuhi kendi."
Mbarep mulai frustrasi. Ia menahan napas, menampar pipinya sendiri, bahkan berteriak dalam hati. Tapi kesedihan yang dipaksa hanya meninggalkan perih, bukan kelegaan. Kendi tetap kosong, dan dadanya semakin sesak.
Ia menunduk, membiarkan keputusasaan merayap perlahan. “Kenapa selalu gagal? Apa aku memang tidak layak untuk melepaskan semua ini?” gumamnya, suara nyaris tak terdengar.
Akhirnya dia mulai pasrah, mbarep terdiam. Ia menutup mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan kehilangan. Ia tidak lagi memaksa, tidak lagi menolak. Air mata mengalir, tenang dan jujur, menetes ke dalam kendi. Kali ini, air mata itu tidak menguap. Perlahan, kendi mulai terisi.
“Aku sedih, aku kehilangan, aku menyesal. Tapi aku ingin melepaskan dan menerima bahwa semua ini bagian dari hidupku” Mbarep bergumam lirih, dengan Air mata yang terus menetes.
Ia mengangkat kendi itu, menatap permukaan air yang berpendar lembut di dalamnya. Jendela notifikasi sistem muncul:
[Larung – Pelepasan]
Larungkan air matamu ke sungai, dan ucapkan mantra penerimaan.
Mbarep berdiri, melangkah ke tepi sungai. Ia menuangkan air kendi ke permukaan air yang tenang, membiarkan setiap tetes membawa pergi beban yang selama ini ia pikul sendiri. Ia melafalkan mantra lirih, suaranya bergetar namun mantap:
“Ingkang sampun, ingsun pasrahke marang banyu suci” (Yang telah lalu, kuserahkan pada air suci.)
“Ingkang rawuh, ingsun tampa kanthi ikhlas” (Yang akan datang, kuterima dengan ikhlas)
“Luh iki dudu tandha kelemahan, nanging tandha aku wis nampa lan ikhlas.” (Air mata ini bukan tanda kelemahan, tapi tanda aku sudah menerima dan ikhlas.)
Air sungai berpendar, membawa pergi air mata dan luka-luka lama. Udara terasa lebih hangat, dan dada Mbarep terasa lapang.
Konstelasi [\#!%26@\&912!] tersenyum samar.
Saat kendi akhirnya kosong, jendela notifikasi dari sistem akhirnya muncul:
[Ujian Pilar Air: Larung Kesedihan – Selesai]
[Hadiah: Kristal Kedua: Tirta Luh – Kekuatan Penerimaan]
Efek: Meningkatkan ketahanan mental terhadap serangan emosi negatif, kemampuan menenangkan orang lain yang sedang berduka.
Mbarep menatap sungai yang kini mengalir lebih jernih. Ia tahu, ujian ini bukan tentang menang atau kalah, tetapi tentang keberanian untuk menerima dan melepaskan. Ujian air ini menjadi titik balik batin bagi Mbarep: sederhana, intim, dan penuh makna. Di kejauhan, arus air membawa pergi air matanya—dan bersama itu, beban lama yang akhirnya bisa ia relakan.