Chapter 16: Jejak yang Kembali dan Dongeng yang Menanti
Udara sore di Semarang membawa aroma yang berbeda dari Salatiga. Di sini, bau tanah basah setelah hujan bercampur dengan aroma samar garam dari laut yang tak jauh, dan asap dari tungku-tungku darurat di Shelter 11 Jatidiri. Mbarep berdiri di tepi Tuk Tirta Pengilon, sebuah mata air kuno yang tersembunyi di antara rimbunnya pohon beringin, yang kini menjadi gerbang tak terduga baginya untuk kembali ke dunia.
Tubuhnya terasa asing. ‘Wadah Naga’ yang dianugerahkan Baru Klinting terasa ringan namun padat, setiap ototnya berdenyut dengan energi yang tenang dan dalam. Ia bisa merasakan aliran udara di kulitnya dengan lebih tajam, mendengar gemerisik daun dari jarak puluhan meter, dan mencium aroma bunga liar yang paling samar sekalipun. Ini adalah kekuatan, tetapi juga sebuah pengasingan.
Ia merapikan rambutnya sekali lagi, memastikan poninya menutupi mata kanannya dengan sempurna. Mata emas reptilian itu adalah rahasia terbesarnya, sebuah kutukan yang terbungkus dalam anugerah. Setiap kali ia berkedip, ia bisa merasakan perbedaan sensori antara mata kiri dan kanannya. Yang kiri melihat dunia seperti biasa, sedangkan yang kanan melihatnya dalam lapisan-lapisan energi—aura manusia, jejak sihir, dan benang-benang takdir yang samar.
“Langkah pertama adalah menemukan mereka,” gumamnya, suaranya terdengar sedikit lebih dalam dari yang ia ingat.
Dengan langkah yang lebih cepat dan pasti dari sebelumnya, ia berjalan meninggalkan ketenangan Tuk Tirta Pengilon dan memasuki keriuhan Shelter 11 Jatidiri.
Pemandangan yang menyambutnya jauh lebih besar dan lebih ramai dari shelter di Salatiga. Ribuan orang berlalu-lalang, masing-masing membawa beban cerita dan lukanya sendiri. Spanduk-spanduk dari berbagai kota—Magelang, Solo, Kudus, Jepara—berkibar di tiang-tiang darurat, menandakan faksi-faksi yang telah terbentuk. Pasar darurat berdenyut dengan kehidupan, suara palu pandai besi beradu dengan tawar-menawar harga ramuan. Di tengah semua itu, menjulang Menara Candhi Waringin, megah dan mengintimidasi, seolah menjadi poros dari dunia baru yang gila ini.
Mbarep mengaktifkan ‘Mata Penulis’-nya secara naluriah, bukan untuk mencari tahu, tetapi sebagai refleks untuk memahami lingkungannya. Kemampuannya kini terasa berbeda, lebih tajam dan lebih cepat.
> Nama: Suryo Pambudi
> Umur: 38 tahun
> Level: 4
> Kelas: Pandai Besi
> Sponsor: Konstelasi 'Empu Supodriyo' (Penempa dari Gunung Lawu)
> Bakat Pasif: Tangan Penempa
> Deskripsi: Mantan pengrajin keris dari Klaten. Kehilangan keluarganya saat Menara muncul di Prambanan. Kini mendedikasikan hidupnya untuk menempa senjata bagi para penantang, berharap suatu hari bisa menciptakan senjata yang mampu membalaskan dendamnya.
> Catatan Penulis: Hatinya dipenuhi dendam, tapi tangannya menciptakan harapan. Sebuah ironi yang menyedihkan.
Mbarep mengalihkan pandangannya dengan cepat. Informasi itu kini datang dengan tambahan ‘Catatan Penulis’—sebuah analisis singkat yang muncul dari alam bawah sadarnya sendiri, seolah personanya sebagai penulis kini menyatu dengan kemampuannya. Rasanya semakin mengganggu.
Ia berjalan melewati kerumunan, matanya mencari wajah-wajah yang familier. Setelah hampir lima belas menit menyusuri labirin tenda dan stand darurat, ia melihatnya. Di dekat sebuah toko kelontong tua yang anehnya masih berdiri kokoh, ‘Toko Barokah’, timnya sedang berkumpul.
Lydia berdiri sambil berbicara dengan seorang wanita dari kelompok Magelang, senyumnya tampak tulus meski ada kelelahan di matanya. Kirana duduk di bangku kayu, mencatat sesuatu di buku kecilnya dengan ekspresi serius. Arya dan Bima sedang berdebat kecil, sepertinya tentang cara memegang senjata yang benar, sementara Raditya duduk di samping mereka, dengan gugup mengelus kepala… sesuatu.
Mbarep berhenti. Matanya terpaku pada makhluk yang meringkuk nyaman di pangkuan Raditya. Sisik hijau lumut, tunas batu bara di punggung, dan mata kuno yang menatapnya dengan rasa ingin tahu.
“Warak Ngendog…” bisiknya tak percaya. “Dan masih bayi.”
Ia menarik napas dalam, menekan segala keterkejutan dan emosi yang bergejolak, lalu melangkah mendekat.
“Sepertinya seru sekali sampai aku tidak diajak,” ucap Mbarep, suaranya tenang namun cukup untuk membuat mereka semua menoleh serempak.
Hening sejenak.
Lalu, “MBAREP!”
Bima adalah yang pertama bereaksi. Ia melompat dan langsung memeluk Mbarep dengan erat, menepuk-nepuk punggungnya dengan keras. “Gila! Lo ke mana aja, Mas! Kita semua khawatir setengah mati, tahu!”
Arya menyusul, senyum lega yang jarang terlihat tersungging di wajahnya. “Syukurlah kamu kembali.”
Kirana berdiri, menutup bukunya. Ia menatap Mbarep dari ujung kepala sampai kaki, matanya yang analitis memindai setiap detail. “Kamu terlihat… berbeda,” komentarnya pelan, nadanya netral tapi penuh makna.
Raditya hanya bisa mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Mas Mbarep…”
Namun, tatapan Mbarep tertuju pada Lydia. Perempuan itu berjalan mendekat paling akhir. Ia tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di depan Mbarep, menatapnya lekat-lekat. Ada kelegaan, kekhawatiran, dan selusin pertanyaan yang tak terucap di matanya. Lalu, tanpa diduga, ia mengulurkan tangan dan dengan lembut merapikan poni Mbarep yang sedikit berantakan.
“Syukurlah,” bisiknya, suaranya bergetar. “Aku tahu kamu akan menepati janjimu.”
Sentuhan itu terasa hangat, sebuah jangkar di tengah lautan keanehan yang baru saja Mbarep lalui. Ia hanya bisa tersenyum tipis. “Aku sudah janji, kan?”
“Ehem!” Bima berdeham keras, memecah momen itu. “Jadi, oleh-olehnya mana? Masa pergi ke tempat keramat nggak bawa apa-apa? Jimat kek, batu akik kek, atau paling nggak cerita seru lah!”
Tawa kecil pecah di antara mereka, mencairkan ketegangan yang menggantung. Mereka memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk berbicara, dan pilihan jatuh pada bagian belakang Warung Madura, di mana pemiliknya yang baik hati menyediakan beberapa kursi plastik dan meja reyot bagi para penantang untuk beristirahat. Secangkir kopi panas dan beberapa bungkus biskuit menjadi saksi reuni mereka.
“Jadi,” Mbarep memulai, matanya kini tertuju pada makhluk di pangkuan Raditya yang menatapnya tanpa berkedip. “Bisa jelaskan tentang teman baru kita ini?”
Wajah Lydia berbinar saat ia mulai bercerita. “Namanya… kami belum yakin,” ia melirik ke arah Bima yang langsung cemberut. “Kami menemukannya di hutan dekat Ungaran. Awalnya kami kira dia monster. Dia menyerang perkemahan kami.”
Lydia menceritakan detail serangan itu—bagaimana makhluk itu tampak bingung dan kesakitan, bukan buas. Bagaimana Konstelasinya, ‘Penjaga Cahaya Kahyangan’, memberinya bisikan untuk tidak menyerang.
“Aku merasakan ada kontaminasi energi menara di tubuhnya,” lanjut Lydia, matanya bersinar samar saat mengingat momen itu. “Dan entah bagaimana, aku bisa… memurnikannya. Setelah itu, dia jadi tenang dan jinak begini.”
Raditya menimpali dengan suara yang lebih percaya diri dari biasanya. “Dia suka dielus di belakang telinganya, Mas. Dan dia suka makan ubi rebus.” Ia menggaruk leher sang Warak dengan lembut, dan makhluk itu mengeluarkan suara dengkur rendah yang aneh.
“Aku sempat kasih nama ‘Gruduk’,” celetuk Bima, “tapi Kak Arya bilang namanya jelek.”
“Bukan jelek, tapi tidak pantas,” koreksi Arya tegas. “Ini makhluk mitologi penjaga Semarang. Namanya harus punya makna.”
Mbarep terkekeh. Ia menatap bayi Warak Ngendok itu. “Warak Ngendog adalah simbol akulturasi dan harmoni. Ia mewakili tiga etnis: Naga dari Tiongkok, Buraq dari Arab, dan Kambing dari Jawa. Dia bukan sekadar makhluk mitos, dia adalah penjaga keseimbangan.”
Semua terdiam, mendengarkan penjelasan Mbarep dengan saksama.
“Memberinya nama adalah sebuah tanggung jawab besar,” lanjut Mbarep. “Namanya akan membentuk sebagian dari takdirnya. Bagaimana kalau… ‘Sandhi’?”
“Sandhi?” ulang Kirana, alisnya terangkat.
“Dari kata ‘Pasandhian’, yang artinya persatuan atau perjanjian tersembunyi,” jelas Mbarep. “Dia datang pada kita di saat kita paling membutuhkannya, menyatukan kembali semangat kita yang sempat goyah. Dia adalah simbol dari tim kita.”
Lydia tersenyum lebar. “Aku suka itu. Sandhi.”
Raditya menatap Warak kecil itu. “Sandhi…” bisiknya. Makhluk itu seolah mengerti, ia menjulurkan lidah kecilnya dan menjilat pipi Raditya.
“Baiklah, namanya Sandhi!” putus Bima dengan semangat. “Selamat datang di tim, Sandhi si Gruduk!”
“Bima!” tegur Arya, tapi kali ini dengan senyum geli.
Setelah cerita tentang Sandhi, Kirana mengambil alih. Ia menceritakan perjalanan mereka yang lancar, serta pengalaman mereka sampai di Semarang.
“Saat pertama sampai disini, kami bertemu dengan berbagai kelompok dari berbagai kota. Salah satu yang paling terkesan bagi kami adalah kelompok dari Magelang.” Ungkap kirana. “Mereka berbeda dari yang lain, mereka berbagi informasi tentang menara tanpa pamrih. Pemimpin mereka, seorang wanita tua yang mereka panggil ‘Eyang Putri’, punya kemampuan penyembuhan yang luar biasa. Katanya, konstelasinya adalah ‘Roh Penjaga Merapi’. Mereka mengajarkan kami cara membuat jimat sederhana dari daun sirih untuk menolak energi negatif.”
Namun, nada bicara Kirana berubah menjadi lebih serius saat ia sampai pada bagian terakhir ceritanya. “Tapi, Semarang juga tidak seramah itu. Perasaan awal tiba disini, suasananya langsung berbeda. Tegang, penuh persaingan. Dan kita… kita langsung menarik perhatian yang salah.”
Lydia melanjutkan, wajahnya kini terlihat tegang. “Ada kelompok dari Solo. Mereka yang terbesar dan terkuat di sini. Pemimpin mereka, Ates Mangkubumi…”
Mendengar nama itu, Mbarep menegang. Tentu saja. Ates Mangkubumi. Salah satu antagonis minor yang ia ciptakan di awal novelnya untuk menjadi batu loncatan bagi karakter utama. Seorang tiran kecil yang ambisius dan kejam, dengan konstelasi ‘Sang Raja Jawa’ yang haus darah.
“Dia menginginkan Sandhi,” kata Lydia pelan. “Dia mengirim letnannya untuk ‘bernegosiasi’. Mereka menawarkan perlengkapan dan perlindungan sebagai gantinya. Tentu saja aku menolaknya.”
“Bagus,” potong Mbarep, suaranya dingin. “Tidak baik meladeni orang yang seperti itu.”
“Tapi, penolakanku sepertinya tidak diterima dengan baik,” lanjut Lydia. “Sejak saat itu, kami merasa terus diawasi. Orang-orangnya ada di mana-mana. Tatapan mereka… dingin. Seolah kami sudah menjadi mangsa yang tinggal menunggu waktu untuk diterkam.”
Bima mengepalkan tangannya. “Kalau mereka berani macam-macam, aku hajar!”
“Jangan gegabah,” Mbarep menatap Bima dengan tajam. “Kitapun tidak tahu maksud dan kekuatan sebenarnya dari mereka. Biasanya orang seperti itu akan menggunakan cara apa pun untuk mendapatkan yang dia mau.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Beban dari dunia nyata terasa menekan sekali lagi.
“Sekarang giliranmu, Barep,” kata Kirana, memecah keheningan. “Apa yang kau temukan di Ambarawa sampai membuatmu rela mengambil risiko sebesar ini?”
Semua mata kini tertuju pada Mbarep. Ia merasakan tekanan yang berbeda. Ini bukan ujian dari kuil, tapi ujian dari kepercayaan teman-temannya. Ia harus menyusun kebohongan yang cukup meyakinkan.
Ia menarik napas panjang. “Alasan awalku memang mengunjungi makam leluhur. Tapi seperti yang kuduga, ini ada hubungannya dengan konstelasiku.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan mereka mencerna. “Tempat yang kudatangi bukan sekadar makam biasa. Itu adalah sebuah ‘petilasan’, tempat pertapaan kuno yang tersembunyi. Saat aku tiba di sana, tempat itu… aktif. Sistem menara sepertinya tidak hanya membangun menara, tapi juga membangkitkan tempat-tempat dengan energi spiritual yang kuat.”
“Di sana, aku harus menjalani serangkaian ujian,” lanjutnya, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Ujian spiritual, semacam ‘laku prihatin’. Aku harus menghadapi… yah, hantu-hantu dari masa laluku sendiri. Rasa takutku, penyesalanku.”
Ia menatap mereka satu per satu, mencoba terlihat tulus. “Itu berat. Sangat berat. Tapi pada akhirnya, aku berhasil melewatinya. Sebagai hadiahnya, aku mendapatkan… semacam ‘warisan’. Sebuah peningkatan kekuatan yang signifikan dari domain spiritual itu.”
Untuk membuktikan kata-katanya, ia membuka jendela statusnya. Meskipun ia menyembunyikan sebagian besar detailnya, peningkatan level dan statistik dasarnya yang melonjak drastis sudah cukup untuk membuat teman-temannya terkesiap.
Nama: Mbarep Kusuma
Level: 7
Kekuatan: 15
Ketahanan: 14
Kelincahan: 15
Kecerdasan: 18
Insting: 17
Koin Realitas: 150
Bima bersiul kagum. “Level 7! Gila, Mas! Kamu nge-cheat ya?”
Mbarep tersenyum tipis. “Bukan cheat. Hanya… jalan pintas yang menyakitkan.”
Lydia menatapnya dengan khawatir. “Kamu baik-baik saja? Maksudku, secara mental?”
“Aku lebih baik dari sebelumnya,” jawab Mbarep jujur. Sebagian dari dirinya memang merasa lebih ringan setelah melepaskan ego penulisnya. “Ujian itu memaksaku untuk menerima banyak hal. Sekarang, aku lebih fokus.”
Kirana menyipitkan matanya, seolah masih ada sesuatu yang mengganjal. “Hanya itu? Tidak ada detail lain tentang ‘warisan’ yang kamu dapatkan?”
“Ada,” kata Mbarep, “tapi sebagian besar bersifat personal dan terikat dengan konstelasiku. Aku masih mencoba memahaminya sendiri. Yang jelas, aku sekarang lebih kuat, dan itu yang terpenting untuk menghadapi apa yang ada di depan kita.”
Kebohongan parsial itu sepertinya cukup. Kirana mengangguk pelan, tampaknya menerima penjelasan itu untuk saat ini.
Konstelasi [#!%26@&912!] terkekeh melihat kemampuanmu merangkai cerita.
Konstelasi ‘Ratu Pantai Selatan’ merasa sedikit terganggu dengan kebohonganmu.
Konstelasi ‘Patih Pemersatu Nusantara’ memilih untuk mempercayai niat baik di balik kata-katamu.
Notifikasi itu muncul dan menghilang dengan cepat, hanya Mbarep yang bisa melihatnya. Ia mengabaikannya.
“Jadi,” Mbarep mengubah topik, suaranya kini penuh dengan otoritas yang baru ia temukan. “Kita punya masalah baru bernama Ates Mangkubumi, dan skenario kedua akan segera dimulai. Kita tidak punya waktu untuk bersantai.”
Ia menatap timnya, tatapannya menyala dengan intensitas yang membuat mereka semua duduk lebih tegak. “Mulai sekarang, kita berlatih. Kita tingkatkan kerja sama tim. Kita manfaatkan setiap Koin Realitas yang kita punya untuk membeli perlengkapan yang paling efisien. Menara Candhi Waringin akan jauh lebih sulit dari yang pertama, dan aku tidak akan membiarkan satu pun dari kalian menjadi korban darim orang yang punya niat buruk pada tim ini.”
Timnya mengangguk serempak. Keraguan dan kekhawatiran mereka perlahan digantikan oleh tekad yang membara. Kembalinya Mbarep tidak hanya mengembalikan seorang anggota, tetapi juga mengembalikan pusat strategi dan motor penggerak tim mereka.
Lydia menatap Mbarep, senyum tulus terukir di wajahnya. “Selamat datang kembali, Barep.”
“Aku kembali,” balas Mbarep. Pandangannya beralih ke Menara Candhi Waringin yang menjulang di kejauhan.
Di dalam hatinya, ia menambahkan, ‘Dan kali ini, aku akan menulis ulang akhir cerita ini dengan tanganku sendiri.’
Reuni mereka telah selesai. Kini, babak baru yang penuh dengan intrik, persaingan, dan pertarungan yang lebih besar telah menanti.